Sabtu, 29 Januari 2022

 

RELASI HEGEMONI KEKUASAAN  DAN MEDIA PADA STIGMATISASI TERORIS UMAT ISLAM


KUSNADI (2020630023)



I.                   PENDAHULUAN

 

1.1.  Latar Belakang Masalah

Beberapa waktu belakangan ini, isu terorisme menjadi isu yang acapkali menjadi isu dominan dalam wacana publik. Awal April 2021 yang lalu ada berita viral dari salah satu akun Facebook tentang curahan hati seorang wanita yang suaminya ditangkap Densus 88 karena diduga terlibat dengan kegiatan terorisme (https://www.facebook.com/sitihairul.dayah). Intinya mengklarifikasikan kepada publik netizen bahwa suaminya yang ditangkap Densus 88 itu tidak ada sedikitpun hubungannya dengan tindak terorisme.

Beberapa kemudian, tepatnya Selasa 27 April 2021 media juga ramai memberitakan tentang Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri yang menangkap Munarman (eks Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI), karena diduga terlibat dalam pembaitan di UIN Jakarta, Medan, dan juga Makassar. Diberitakan juga Munarman disebut terlibat kegiatan terorisme dengan berperan dalam membuat jaringan JAD dan ISIS di Indonesia, divisualkan beliau ketika ditangkap menggunakan baju koko berwarna putih dan sarung, juga dikenakan penutup mata berwarna hitam dengan tangan diborgol.

Sebelumnya juga media ramai memberitakan penangkapan sebanyak 22 terduga teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI) di Jawa Timur. Mereka ditangkap Tim Densus 88 Antiteror Polri sejak tanggal 26 Februari sampai 2 Maret 2021 dalam waktu yang berbeda-beda dengan lokasi yang berbeda-beda pula, seperti di Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Kediri, Malang, dan Bojonegoro. Mereka ditangkap karena diduga telah melakukan berbagai aktivitas berupa latihan bela diri dan menyusun rencana aksi terorisme. Visualisasinyapun sama, mereka ketika ditangkap dengan standar penangkapan teroris yaitu dikenakan penutup mata berwarna hitam dengan tangan diborgol.

Hal yang disayangkan terjadi khususnya dengan prilaku media. Stigmatisasi polisi dalam hal ini Densus 88 ini lantas disampaikan kepada media massa. Tanpa verifikasi, media massa langsung menuliskan beritanya. Stigmatisasi teroris itu pun makin menyebar luas ke masyarakat. Setiap kali peristiwa penangkapan terduga teroris di Indonesia terjadi, maka media secara langsung memberikan nama sebagai aksi terorisme. Dan seketika itu terminologi terorisme dalam pemberitaan semua media di Indonesia, hal tersebut seolah sudah menjadi kebijakan yang wajib. Tidak ada satupun media yang berani untuk berbeda dengan menggunakan pilihan kata yang lain dalam menyampaikan pemberitaannya.

Diksi “perbuatan anarkhis” “perbuatan melawan hukum”, “aksi kekerasan” dan kata pilihan lain yang sepadan/semisal tidak digunakan oleh media. Stigma teroris sudah sangat melekat pada atribut-atribut tertentu yang berhubungan dengan sebuah agama yaitu Islam. Dan efeknya, hal tersebut juga menjadikan keluarga dan turunan mereka mempunyai stigma yang sama di tengah masyarakat dimana mereka tinggal.

Akhirnya konsekuensi dari stigma tersebut berefek domino. Keluarga yang salah satu anggotanya menjadi teroris mendapatkan perlakukan tidak semestinya di masyarakat. Sensitivitas dari persoalan terkait label terorisme pada umat Islam sangat fatal. Stigmatisasi atas katakanlah peristiwa terorisme itu masih juga dilegalkan oleh kelompok - kelompok islam tertentu, yaitu yang terafiliasi dengan teroris. Hal tersebut memang harus dikenakan penindakan serta proses hukum, tetapi proposionalitasnya tetap harus kita awasi bersama, jangan sampai wacana terorisme yang dikembangkan media justru mengarah pada stigmatisasi pemberitaan label teroris pada umat Islam. Maka dari penjelasan pemaparan diatas tersebut timbul pertanyaan teoritis : Mengapa Hegemoni pemberitaan media massa memiliki kecenderungan untuk memberikan stigma pada umat Islam dalam pemberitaan terorisme?

Kajian media ini saya bagi dalam empat bagian. Pertama adalah bagian pendahuluan yang menjadi pengantar sekaligus memaparkan permasalahan keseluruhan arah tema dari kajian ini. Kedua, bagian inti atau isi pokok tema persoalan bahasan, pada bagian ini akan saya paparkan penjelasan mengenai pertanyaan bagaimana Hegemoni kekuasaan menjadi sangat berbahaya bagi rakyat kalau penangkapan seseorang seenaknya dan penggeledahan rumah begitu enteng dilakukan tanpa merasa bersalah karena praktik kewajaran dalam relasi dengan hegemoni media terkait stigmatisasi terorisme. Ketiga, bagian tanggapan teori, bagian ini akan saya paparkan teori Hegemoni beserta referensi jurnal internasional. Dan yang Keempat, akan saya paparkan secara singkat, padat, dan jelas kesimpulan argumentatif dari teori yang digunakan dalam membahas gejala permasalahan yang diamati yaitu berkaitan dengan Hegemoni kekuasaan terhadap wacana yang dikembangkan media mengarah pada stigmatisasi terorisme umat Islam dalam pemberitaannya.

II.                PEMBAHASAN

2.1  Relasi Stigmatisasi Kekuasaan Dan Media Massa

Berawal dari viralnya postingan curahan hati Siti Hairul Dayah yang tinggal di Yogyakarta. Beliau menulis dalam akun Facebooknya setelah suaminya ditangkap Tim Densus 88 pada saat hendak berangkat shalat ke masjid pada hari Jumat, 2 April 2021, bersama anaknya. Rumahnya digeledah. Buku-buku dan barang diambil polisi. Ironisnya setelah penggeledahan,beberapa tetangganyapun dengan seenaknya saja mengambili pot-pot bunga mawar di halaman rumahnya. Tetangga ini mengira setelah Tim Densus 88 mengambili barang-barang keluarga Siti tersebut, maka mereka juga merasa berhak mengambil barang-barang lainnya.

Setelah beberapa hari, wacana pemberitaanpun semakin meluas. Hampir semua berita ditambahi kabar yang lain. Diberitakan bahwa keluarga tersebut bercadar dan sangat tertutup, padahal dia tidak bercadar. Bahkan memiliki pergaulan luas. Teman-temannya beragam. Dan menurut keterangannya sehari setelah suaminya ditangkap banyak teman-teman ‘bloggernya’ datang berkunjung.

Stigmatisasi teroris. Itulah yang telah diberikan oleh Tim Densus 88 kepada keluarganya, yang notabene belum tentu benar seperti itu keadaan sebenarnya. Dan akhirnya berita yang tersebarpun menjadi bias. Stigmatisasi polisi dalam hal ini Tim Densus 88 lantas disampaikan kepada media massa. Tanpa verifikasi, media massa

langsung menuliskan beritanya. Stigmatisasi teroris itu pun makin menyebar luas. Hingga berdampak dan membuat tetangga Siti Hairul berbuat sesukanya. Itulah bahaya stigmatisasi yang dibuat penguasa yang begitu mudahnya melabeli rakyat yang notabene adalah umat Islam.

Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Isi media tidak hadir begitu saja melainkan melalui mekanisme tarik menarik kepentingan internal dan eksternal yang kuat. Apa yang tersaji di media bukanlah realita yang sesungguhnya melainkan formulasi kerja redaksional yang menghadirkan kembali realitas dalam wajah yang lain.Media melalui formulasi tersebut menghadirkan realitas baru yang telah mengalami penambahan, pengurangan, perbaikan, penghapusan atau bahkan distorsi dari realitas sesungguhnya.

Alih-alih menghadirkan realitas obyektif, isi media justru sarat dengan berbagai kepentingan yang melingkupinya.

Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak, dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi kelas tertentu. Media bukanlah mekanisme sederhana yang sekedar menyampaikan informasi namun sekaligus sebagai organisasi yang memegang peran penting dalam masyarakat. Teks media sendiri sudah bersifat ideologis, dan berpotensi untuk menyalurkan ideologi dominan sekaligus mengekspresikan berbagai potensi perbedaan yang ada.

Media menjadi bagian dari industri budaya yang menciptakan simbol dan citra yang dapat menekan kelompok marginal (Littlejohn, S. W. 2008: 305). Pembahasan yang harus disadari bukan hanya terletak pada kenyataan bahwa teks media selalu bersifat ideologis. Pembahasan tentang kemampuan untuk membedakan antara kuasa teks itu sendiri dengan pengaruh kuasa struktur makro yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tersebut juga menjadi topik menarik.

Gans dan Gitlin mengkategorikan beberapa perspektif teoritis yang digunakan untuk melihat isi media. Pertama adalah isi media merefleksikan realitas tanpa distorsi atau hanya ada sedikit distorsi dari realitas. Kedua isi media dipengaruhi oleh sosialisasi dan sikap dari pekerja media. Ketiga, isi media dipengaruhi rutinitas kerjanya, keempat isi dipengaruhi kekuatan institusi lain di luar media, dan kelima isi media dipengaruhi oleh posisi ideologi dan mempertahankan status quo (Shoemaker dan Reese, 1996:6-7).

Meskipun konsumen dan produsen teks media mempunyai opsi bagaimana teks harus disimbolisasikan dan dimaknai namun tetap saja ada bingkai yang dipengaruhi oleh faktor yang berada di luar jangkauan kendali sadar konsumen atau produsen teks media.

Stigma, diskriminasi dan hak asasi manusia memiliki hubungan yang dekat. Stigma digambarkan sebagai proses devaluasi dinamis yang secara signifikan mendiskreditkan seseorang di mata orang lain.

Relasi antara media dan kekuasaan dapat digambarkan sebagai sebuah simbiosis mutualis yang saling membutuhkan. Wacana mengenai pelaku teroris telah membentuk dan dibentuk oleh Media. Maksudnya adalah media telah membentuk sekaligus mendefinisikan, peristiwa-peristiwa sosial jenis apa saja yang layak disebut sebagai tindakan terorisme. Di sisi lain media sendiri pun telah dibentuk oleh peristiwa-peristiwa terorisme sebagai penerbitan pers yang merepresentasikan tipe-tipe terorisme dalam pemberitaan mereka. Mekanisme ini menunjukkan pertalian antara kepentingan dari media akan hadirnya peristiwa yang memiliki nilai berita dan kepentingan tidak langsung dari para teroris untuk mendapatkan publikasi.

Stigma adalah atribut yang mengganggu identitas individu. Goffman menbedakan sigma menjadi tiga jenis yaitu :

1. Abominations of the body (ketimpangan fisik)

Jenis sigma ini diberikan kepada orang-orang yang cacat tubuhnya atau memiliki ciri khusus secara fisik yang berlainan dengan orang lain. Pada umumnya orang-orang yang memiliki perbedaan kondisi fisik dengan orang lain kemudian diberikan julukan khusus seperti si pincang, buntung, hitam, tuli dan bisu. Stiamatisasi ini juga memberikan julukan pada ciri-ciri fisik khusus yang memiliki seseorang dan memiliki konotasi terhadap suatu tindakan yang dianggap menyimpang dalam masyarakat.

2. Blemishes of individual character

Stigmatisasi ini merujuk pada orang-orang yang mempunyai karakter individual tercela. Misalnya : homoseksualis, lesbian, pelaku bunuh diri, ketagihan dan pecandu narkoba. Ketimpangan karakter seperti gangguan mental, gila, dan keterbelakangan juga menjadi bagian dari stigma jenis ini. Bentuk lain yang dikategorikan sebagai karakter individual tercela biasanya dikaitkan antara ciri baik dan buruk dalam penilaian mayoritas.

3. Tribal Stigmas

Jenis stigma ini berkaitan dengan kesukuan (Tribal) termasuk di dalamnya ras, agama, bangsa, wilayah, agama dan politik. Stigma ini bisa muncul dalam bentuk keturunan.

 

2.2  Hegemoni Kekuasaan  Dan Media Massa

Hegemoni kekuasaan akan menjadi berbahaya bagi rakyat jika mereka mengangap rakyat adalah musuh. Menurut Hill dan Fenner, kuasa hegemoni bisa diterapkan melalui proses produksi dan konsumsi wacana. Di ranah opini publik, penamaan dan penjulukan terhadap orang atau kelompok tertentu bisa dianggap ’praktik yang wajar dari hegemoni’.

Dalam kasus penangkapan seseorang seenaknya dan penggeledahan rumah yang begitu enteng dilakukan Tim Densus 88 tanpa merasa bersalah karena praktik kewajaran dalam kuasa hegemoni itu, maka inilah bahaya dari stigmatisasi. Wartawan dan media massa ternyata juga ikut-ikutan dalam kesombongan kuasa hegemoni itu. Tugas media massa seharusnya memverifikasi informasi dan menyajikan secara cover both side dari fenomena tersebut.

Tugas media massa juga segharusnya memberikan edukasi atau pemahaman pada rakyat, bahwa terorisme adalah aksi atau ancaman untuk melakukan kekerasan dengan tujuan menimbulkan kecemasan dan rasa takut. (Stohl, 1988).

Tetapi sepertinya para wartawan tidak perlu memahami apa itu terorisme, yang penting dapat berita, dimuat duluan, kalaupun ada kesalahan nanti bisa dikoreksi belakangan. Keberadaan wartawan dalam konteks pemberitaan yang mereka muat di media dan tak memverifikasi seseorang yang dituduh teroris itu otomatis sudah memberi ancaman kekerasan dan kecemasan bagi masyarakat, dan hal tersebut sama saja telah menjadi bagian dari kaki tangan penguasa. Inilah bahaya stigmatisasi.

Dan kalau situasi tersebut dibiarkan terus menerus, maka akan menjadikan polisi (Densus 88 Polri) merasa superior. Menjadi lembaga superbody yang bisa mengatur dan berbuat semaunya. Hal ini terbukti dengan keluarnya Surat Telegram Kapolri yang meminta Kapolda melarang media massa memuat foto dan berita kekerasan yang dilakukan aparat polisi (Densus 88), beruntung masih ada wartawan-wartawan  yang merespons keras Surat Telegram Kapolri itu dari PWI, AJI, dan lainnya, sehingga surat telegram tersebut dibatalkan (Surat itu hanya berumur satu hari).

 

2.3  Analisis Konten Media Dan Social Setting

Menurut Teun Adrianus Van Dijk (pakar linguistik teks dari Universitas Pompeu Fabra University, Barcelona)  menggarisbawahi pentingnya ’siapa yang bicara’ sebagai bagian dari konteks untuk memahami teks. Menurutnya, dua konteks paling penting yang paling memengaruhi produksi berita adalah participant dan social setting pada saat terjadinya peristiwa.

Liputan berita terjadi karena pilihan keliru atas narasumber. Kesalahan terjadi karena narasumber bukan pelaku, korban, saksi mata, yang berwenang (punya otoritas), atau yang berkemampuan (memiliki kapasitas tentang isu terkait). Dalam kasus terorisme, Kapolri atau Humas Mabes Polisi adalah narasumber kompeten. Tapi informasi ini harus dikonfirmasikan ke partisipan lainnya agar menjadi berita seimbang dan objektif. Tidak trial by the press. Menghindari bias berita atau framing media yang memberi label dan stigma.

Farid Gaban (seorang wartawan senior) mencontohkan, seseorang diberitakan teroris harus ada motif politik. Tanpa tujuan politik, kekerasan atau ancaman, tindak kekerasan itu hanya bersifat pidana (crime), Jadi kalau wartawan menulis berita seorang pelaku sebagai teroris jelaskan juga unsur menimbulkan ketakutan, kecemasan, dan motif politiknya. Ini tuntutan fairness dan keakuratan berita. Tanpa ada keterangan tersebut, maka  wartawan sudah pre judice. Berprasangka.

Sebuah teks peristiwa itu tidaklah lahir apa adanya. Ada social setting yang memengaruhi dari munculnya teks peristiwa tersebut. Bisa dipengaruhi oleh seseorang atau kehidupan pribadi dan kondisi sosial di lingkungan pelaku peristiwa itu hidup. Seseorang menjadi radikal bisa jadi dibuat oleh seseorang atau muncul dari kehidupan pribadi dan kondisi sosialnya.

Jadi wartawan harus memahami social setting untuk mendalami sebuah peristiwa yang terjadi dipengaruhi oleh siapa dan apa saja. Wartawan harus bisa cerdas,punya nalar kritis dan skeptis terhadap pernyataan seseorang. Wacana yang dibuat produsen teks bisa berbeda makna bagi penerima teks. Tidak peduli seberapa eksplisit kita berpikir bahwa kita telah mentekstualisasikan apa yang akan kita katakan, akan ada kemungkinan bakal ditafsirkan sebaliknya oleh penerima teks. Elemen yang paling krusial dalam melabel teroris adalah identitas agama (dalam hal ini agama Islam). Terorisme adalah kata tunggal dalam politik Amerika yang paling meaningless dan paling kerap dimanipulasi. Istilah itu tak ada hubungannya dengan aksi kekerasan, namun sangat berkaitan dengan identitas agama sang pelaku.

Belajar dari propaganda Bush: War Against Terrorism dan Weapon of Mass Distruction yang ternyata “ZONK”. Sudah semestinya kepolisian Republik Indonesia mengkaji ulang keberadaan Tim Densus 88 Antiteror dan minta agar anggaran puluhan triliun untuk kegiatan menggeledah rumah rakyat atau menembak mati orang yang dicurigai itu diselamatkan dan ditujukan untuk kepentingan kemakmuran rakyat Indonesia.

 

 

III.             PARADIGMA TEORI HEGEMONI ANTONIO GRAMSCI

Antonio Gramsci adalah seorang intelektual besar di kalangan kaum kiri, yang disebut sebagai pemikir terbesar setelah Karl Marx. Pemikiran-pemikiran Gramsci tertuang dalam banyak artikel yang dimuat di media massa.

Dari seluruh karya dan tulisannya, hegemoni dinilai sebagai ide sentral dan orisinal yang dikembangkan Gramsci. Teori Hegemoni dipandang telah membawa perubahan besar dan menimbulkan perdebatan pemikiran atas teori-teori perubahan sosial, terutama bagi yang menghendaki perubahan radikal dan revolusioner.

Hegemoni adalah sebuah sebuah upaya pemahaman akan suatu kelompok atau masyarakat dengan tujuan untuk merubahnya. Hegemoni menunjuk pada kuatnya pengaruh kepemimpinan dalam bentuk moral maupun intelektual, yang membentuk sikap kelompok yang dipimpin. Hal ini terjadi dalam citra konsensual yang diciptakan melalui pengaruh terselubung lewat pengetahuan yang disebarkan melalui perangkat-perangkat kekuasaan ataupun dengan pemaksaan.

Teori Hegemoni sesungguhnya adalah kritik terhadap konsep pemikiran yang mereduksi dan menganggap esensi suatu entitas tertentu sebagai satu-satunya kebenaran mutlak, utamanya reduksionisme dan esensialisme yang melekat pada pemikiran-pemikiran penganut Marxisme dan Non Marxisme.

Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni bukan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, tetapi hubungan persetujuan dengan mengunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Dengan demikian, berbeda dengan makna aslinya dalam bahasa Yunani yang berarti penguasaan satu bangsa atas bangsa lainnya, hegemoni dalam pengertian Gramsci adalah sebuah organisasi konsensus dimana ketertundukan diperoleh melalui penguasaan ideologi dari kelas yang menghegemoni. Konsep Gramsci tentang negara integral menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya terpusat pada negara. Kekuasaan dipahami sebagai suatu hubungan, sehingga hubungan sosial masyarakat sipil juga merupakan hubungan kekuasaan. Konsep Gramsci tentang kekuasaan ini berbeda dengan dengan konsep marxisme klasik, termasuk Lenin, yang melihat kekuasaan terpusat pada negara dan berada di bawah control penuh kelas pemiliki kapital

Dengan kata lain, hegemoni adalah sebuah mata rantai strategi memperoleh kemenangan yang lebih banyak di dapat melalui mekanisme konsensus daripada melalui penindasan dan pemaksaan terhadap kelompok lainnya.

Polisi dalam hal ini Densus 88 ini sebagai entitas personifikasi kekuasaaan, yang lantas berelasi dengan media massa dalam penyampaian informasi dan tanpa verifikasi, media massa langsung menuliskan beritanya. Setiap kali peristiwa penangkapan terduga teroris di Indonesia terjadi, maka media secara langsung memberikan nama sebagai aksi terorisme. Dan seketika itu Hegemoni kekuasaan dan media saling berelasi memunculkan stigmatisasi terorisme pada umat Islam.

I. PENUTUP

3.1    Kesimpulan

Pada kesimpulan ini ada dua hal yang ingin saya tekankan :

Pertama, yaitu bahwa argumentasi utama Hegemoni adalah citra konsensual yang diciptakan melalui pengaruh terselubung lewat pengetahuan yang disebarkan melalui perangkat-perangkat kekuasaan ataupun dengan pemaksaan yang dilalukan Tim Densus 88 melalui pimpinannya membuat relasi Hegemoni dengan media sehingga terjadi stigmatisasi teroris pada umat Islam yang menyebar luas ke masyarakat.

Kedua, Stigmatisasi teroris, Itulah yang telah diberikan oleh Densus 88 kepada keluarga umat Islam yang menjadi terduga teroris. Padahal belum tentu benar seperti itu keadaan sebenarnya, tapi karena relasi hegemoni media sehingga menyebabkan berita yang tersebar menjadi bias, bahkan hoax. Dari kasus ini bisa jadi  Produsen hoax terbesar itu justru adalah “Penguasa”.


DAFTAR PUSTAKA

 

-          Littlejohn, S. W. 2008. Theories of Human Communication 9th Edition. Belmont CA:Wadsworth N/A.

-          Bocock, Robert, 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni.

Yogyakarta, Jalasutra.

-          Patria, Nezar & Arief, Andi, 2015. Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni.

Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

-          Waluyo, Sapto. 2009. Kontra Terorisme, Dilema Indonesia di Masa Transisi. Jakarta: Media Center.

-          https://megapolitan.kompas.com/read/2021/04/28/03200081/kronologi-30-menit-penangkapan-munarman-oleh-densus-88-antiteror-di?page=all. (Diakses pada tanggal : 30 April 2021)

-          https://nasional.kompas.com/read/2021/03/18/14570571/22-terduga-teroris-yang-diamankan-densus-88-di-jawa-timur-tiba-di-jakarta. (Diakses pada tanggal : 30 April 2021)