Sabtu, 29 Januari 2022

 

RELASI HEGEMONI KEKUASAAN  DAN MEDIA PADA STIGMATISASI TERORIS UMAT ISLAM


KUSNADI (2020630023)



I.                   PENDAHULUAN

 

1.1.  Latar Belakang Masalah

Beberapa waktu belakangan ini, isu terorisme menjadi isu yang acapkali menjadi isu dominan dalam wacana publik. Awal April 2021 yang lalu ada berita viral dari salah satu akun Facebook tentang curahan hati seorang wanita yang suaminya ditangkap Densus 88 karena diduga terlibat dengan kegiatan terorisme (https://www.facebook.com/sitihairul.dayah). Intinya mengklarifikasikan kepada publik netizen bahwa suaminya yang ditangkap Densus 88 itu tidak ada sedikitpun hubungannya dengan tindak terorisme.

Beberapa kemudian, tepatnya Selasa 27 April 2021 media juga ramai memberitakan tentang Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri yang menangkap Munarman (eks Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI), karena diduga terlibat dalam pembaitan di UIN Jakarta, Medan, dan juga Makassar. Diberitakan juga Munarman disebut terlibat kegiatan terorisme dengan berperan dalam membuat jaringan JAD dan ISIS di Indonesia, divisualkan beliau ketika ditangkap menggunakan baju koko berwarna putih dan sarung, juga dikenakan penutup mata berwarna hitam dengan tangan diborgol.

Sebelumnya juga media ramai memberitakan penangkapan sebanyak 22 terduga teroris jaringan Jamaah Islamiyah (JI) di Jawa Timur. Mereka ditangkap Tim Densus 88 Antiteror Polri sejak tanggal 26 Februari sampai 2 Maret 2021 dalam waktu yang berbeda-beda dengan lokasi yang berbeda-beda pula, seperti di Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Kediri, Malang, dan Bojonegoro. Mereka ditangkap karena diduga telah melakukan berbagai aktivitas berupa latihan bela diri dan menyusun rencana aksi terorisme. Visualisasinyapun sama, mereka ketika ditangkap dengan standar penangkapan teroris yaitu dikenakan penutup mata berwarna hitam dengan tangan diborgol.

Hal yang disayangkan terjadi khususnya dengan prilaku media. Stigmatisasi polisi dalam hal ini Densus 88 ini lantas disampaikan kepada media massa. Tanpa verifikasi, media massa langsung menuliskan beritanya. Stigmatisasi teroris itu pun makin menyebar luas ke masyarakat. Setiap kali peristiwa penangkapan terduga teroris di Indonesia terjadi, maka media secara langsung memberikan nama sebagai aksi terorisme. Dan seketika itu terminologi terorisme dalam pemberitaan semua media di Indonesia, hal tersebut seolah sudah menjadi kebijakan yang wajib. Tidak ada satupun media yang berani untuk berbeda dengan menggunakan pilihan kata yang lain dalam menyampaikan pemberitaannya.

Diksi “perbuatan anarkhis” “perbuatan melawan hukum”, “aksi kekerasan” dan kata pilihan lain yang sepadan/semisal tidak digunakan oleh media. Stigma teroris sudah sangat melekat pada atribut-atribut tertentu yang berhubungan dengan sebuah agama yaitu Islam. Dan efeknya, hal tersebut juga menjadikan keluarga dan turunan mereka mempunyai stigma yang sama di tengah masyarakat dimana mereka tinggal.

Akhirnya konsekuensi dari stigma tersebut berefek domino. Keluarga yang salah satu anggotanya menjadi teroris mendapatkan perlakukan tidak semestinya di masyarakat. Sensitivitas dari persoalan terkait label terorisme pada umat Islam sangat fatal. Stigmatisasi atas katakanlah peristiwa terorisme itu masih juga dilegalkan oleh kelompok - kelompok islam tertentu, yaitu yang terafiliasi dengan teroris. Hal tersebut memang harus dikenakan penindakan serta proses hukum, tetapi proposionalitasnya tetap harus kita awasi bersama, jangan sampai wacana terorisme yang dikembangkan media justru mengarah pada stigmatisasi pemberitaan label teroris pada umat Islam. Maka dari penjelasan pemaparan diatas tersebut timbul pertanyaan teoritis : Mengapa Hegemoni pemberitaan media massa memiliki kecenderungan untuk memberikan stigma pada umat Islam dalam pemberitaan terorisme?

Kajian media ini saya bagi dalam empat bagian. Pertama adalah bagian pendahuluan yang menjadi pengantar sekaligus memaparkan permasalahan keseluruhan arah tema dari kajian ini. Kedua, bagian inti atau isi pokok tema persoalan bahasan, pada bagian ini akan saya paparkan penjelasan mengenai pertanyaan bagaimana Hegemoni kekuasaan menjadi sangat berbahaya bagi rakyat kalau penangkapan seseorang seenaknya dan penggeledahan rumah begitu enteng dilakukan tanpa merasa bersalah karena praktik kewajaran dalam relasi dengan hegemoni media terkait stigmatisasi terorisme. Ketiga, bagian tanggapan teori, bagian ini akan saya paparkan teori Hegemoni beserta referensi jurnal internasional. Dan yang Keempat, akan saya paparkan secara singkat, padat, dan jelas kesimpulan argumentatif dari teori yang digunakan dalam membahas gejala permasalahan yang diamati yaitu berkaitan dengan Hegemoni kekuasaan terhadap wacana yang dikembangkan media mengarah pada stigmatisasi terorisme umat Islam dalam pemberitaannya.

II.                PEMBAHASAN

2.1  Relasi Stigmatisasi Kekuasaan Dan Media Massa

Berawal dari viralnya postingan curahan hati Siti Hairul Dayah yang tinggal di Yogyakarta. Beliau menulis dalam akun Facebooknya setelah suaminya ditangkap Tim Densus 88 pada saat hendak berangkat shalat ke masjid pada hari Jumat, 2 April 2021, bersama anaknya. Rumahnya digeledah. Buku-buku dan barang diambil polisi. Ironisnya setelah penggeledahan,beberapa tetangganyapun dengan seenaknya saja mengambili pot-pot bunga mawar di halaman rumahnya. Tetangga ini mengira setelah Tim Densus 88 mengambili barang-barang keluarga Siti tersebut, maka mereka juga merasa berhak mengambil barang-barang lainnya.

Setelah beberapa hari, wacana pemberitaanpun semakin meluas. Hampir semua berita ditambahi kabar yang lain. Diberitakan bahwa keluarga tersebut bercadar dan sangat tertutup, padahal dia tidak bercadar. Bahkan memiliki pergaulan luas. Teman-temannya beragam. Dan menurut keterangannya sehari setelah suaminya ditangkap banyak teman-teman ‘bloggernya’ datang berkunjung.

Stigmatisasi teroris. Itulah yang telah diberikan oleh Tim Densus 88 kepada keluarganya, yang notabene belum tentu benar seperti itu keadaan sebenarnya. Dan akhirnya berita yang tersebarpun menjadi bias. Stigmatisasi polisi dalam hal ini Tim Densus 88 lantas disampaikan kepada media massa. Tanpa verifikasi, media massa

langsung menuliskan beritanya. Stigmatisasi teroris itu pun makin menyebar luas. Hingga berdampak dan membuat tetangga Siti Hairul berbuat sesukanya. Itulah bahaya stigmatisasi yang dibuat penguasa yang begitu mudahnya melabeli rakyat yang notabene adalah umat Islam.

Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Isi media tidak hadir begitu saja melainkan melalui mekanisme tarik menarik kepentingan internal dan eksternal yang kuat. Apa yang tersaji di media bukanlah realita yang sesungguhnya melainkan formulasi kerja redaksional yang menghadirkan kembali realitas dalam wajah yang lain.Media melalui formulasi tersebut menghadirkan realitas baru yang telah mengalami penambahan, pengurangan, perbaikan, penghapusan atau bahkan distorsi dari realitas sesungguhnya.

Alih-alih menghadirkan realitas obyektif, isi media justru sarat dengan berbagai kepentingan yang melingkupinya.

Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai. Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak, dimanfaatkan untuk memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi kelas tertentu. Media bukanlah mekanisme sederhana yang sekedar menyampaikan informasi namun sekaligus sebagai organisasi yang memegang peran penting dalam masyarakat. Teks media sendiri sudah bersifat ideologis, dan berpotensi untuk menyalurkan ideologi dominan sekaligus mengekspresikan berbagai potensi perbedaan yang ada.

Media menjadi bagian dari industri budaya yang menciptakan simbol dan citra yang dapat menekan kelompok marginal (Littlejohn, S. W. 2008: 305). Pembahasan yang harus disadari bukan hanya terletak pada kenyataan bahwa teks media selalu bersifat ideologis. Pembahasan tentang kemampuan untuk membedakan antara kuasa teks itu sendiri dengan pengaruh kuasa struktur makro yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan memaknai teks tersebut juga menjadi topik menarik.

Gans dan Gitlin mengkategorikan beberapa perspektif teoritis yang digunakan untuk melihat isi media. Pertama adalah isi media merefleksikan realitas tanpa distorsi atau hanya ada sedikit distorsi dari realitas. Kedua isi media dipengaruhi oleh sosialisasi dan sikap dari pekerja media. Ketiga, isi media dipengaruhi rutinitas kerjanya, keempat isi dipengaruhi kekuatan institusi lain di luar media, dan kelima isi media dipengaruhi oleh posisi ideologi dan mempertahankan status quo (Shoemaker dan Reese, 1996:6-7).

Meskipun konsumen dan produsen teks media mempunyai opsi bagaimana teks harus disimbolisasikan dan dimaknai namun tetap saja ada bingkai yang dipengaruhi oleh faktor yang berada di luar jangkauan kendali sadar konsumen atau produsen teks media.

Stigma, diskriminasi dan hak asasi manusia memiliki hubungan yang dekat. Stigma digambarkan sebagai proses devaluasi dinamis yang secara signifikan mendiskreditkan seseorang di mata orang lain.

Relasi antara media dan kekuasaan dapat digambarkan sebagai sebuah simbiosis mutualis yang saling membutuhkan. Wacana mengenai pelaku teroris telah membentuk dan dibentuk oleh Media. Maksudnya adalah media telah membentuk sekaligus mendefinisikan, peristiwa-peristiwa sosial jenis apa saja yang layak disebut sebagai tindakan terorisme. Di sisi lain media sendiri pun telah dibentuk oleh peristiwa-peristiwa terorisme sebagai penerbitan pers yang merepresentasikan tipe-tipe terorisme dalam pemberitaan mereka. Mekanisme ini menunjukkan pertalian antara kepentingan dari media akan hadirnya peristiwa yang memiliki nilai berita dan kepentingan tidak langsung dari para teroris untuk mendapatkan publikasi.

Stigma adalah atribut yang mengganggu identitas individu. Goffman menbedakan sigma menjadi tiga jenis yaitu :

1. Abominations of the body (ketimpangan fisik)

Jenis sigma ini diberikan kepada orang-orang yang cacat tubuhnya atau memiliki ciri khusus secara fisik yang berlainan dengan orang lain. Pada umumnya orang-orang yang memiliki perbedaan kondisi fisik dengan orang lain kemudian diberikan julukan khusus seperti si pincang, buntung, hitam, tuli dan bisu. Stiamatisasi ini juga memberikan julukan pada ciri-ciri fisik khusus yang memiliki seseorang dan memiliki konotasi terhadap suatu tindakan yang dianggap menyimpang dalam masyarakat.

2. Blemishes of individual character

Stigmatisasi ini merujuk pada orang-orang yang mempunyai karakter individual tercela. Misalnya : homoseksualis, lesbian, pelaku bunuh diri, ketagihan dan pecandu narkoba. Ketimpangan karakter seperti gangguan mental, gila, dan keterbelakangan juga menjadi bagian dari stigma jenis ini. Bentuk lain yang dikategorikan sebagai karakter individual tercela biasanya dikaitkan antara ciri baik dan buruk dalam penilaian mayoritas.

3. Tribal Stigmas

Jenis stigma ini berkaitan dengan kesukuan (Tribal) termasuk di dalamnya ras, agama, bangsa, wilayah, agama dan politik. Stigma ini bisa muncul dalam bentuk keturunan.

 

2.2  Hegemoni Kekuasaan  Dan Media Massa

Hegemoni kekuasaan akan menjadi berbahaya bagi rakyat jika mereka mengangap rakyat adalah musuh. Menurut Hill dan Fenner, kuasa hegemoni bisa diterapkan melalui proses produksi dan konsumsi wacana. Di ranah opini publik, penamaan dan penjulukan terhadap orang atau kelompok tertentu bisa dianggap ’praktik yang wajar dari hegemoni’.

Dalam kasus penangkapan seseorang seenaknya dan penggeledahan rumah yang begitu enteng dilakukan Tim Densus 88 tanpa merasa bersalah karena praktik kewajaran dalam kuasa hegemoni itu, maka inilah bahaya dari stigmatisasi. Wartawan dan media massa ternyata juga ikut-ikutan dalam kesombongan kuasa hegemoni itu. Tugas media massa seharusnya memverifikasi informasi dan menyajikan secara cover both side dari fenomena tersebut.

Tugas media massa juga segharusnya memberikan edukasi atau pemahaman pada rakyat, bahwa terorisme adalah aksi atau ancaman untuk melakukan kekerasan dengan tujuan menimbulkan kecemasan dan rasa takut. (Stohl, 1988).

Tetapi sepertinya para wartawan tidak perlu memahami apa itu terorisme, yang penting dapat berita, dimuat duluan, kalaupun ada kesalahan nanti bisa dikoreksi belakangan. Keberadaan wartawan dalam konteks pemberitaan yang mereka muat di media dan tak memverifikasi seseorang yang dituduh teroris itu otomatis sudah memberi ancaman kekerasan dan kecemasan bagi masyarakat, dan hal tersebut sama saja telah menjadi bagian dari kaki tangan penguasa. Inilah bahaya stigmatisasi.

Dan kalau situasi tersebut dibiarkan terus menerus, maka akan menjadikan polisi (Densus 88 Polri) merasa superior. Menjadi lembaga superbody yang bisa mengatur dan berbuat semaunya. Hal ini terbukti dengan keluarnya Surat Telegram Kapolri yang meminta Kapolda melarang media massa memuat foto dan berita kekerasan yang dilakukan aparat polisi (Densus 88), beruntung masih ada wartawan-wartawan  yang merespons keras Surat Telegram Kapolri itu dari PWI, AJI, dan lainnya, sehingga surat telegram tersebut dibatalkan (Surat itu hanya berumur satu hari).

 

2.3  Analisis Konten Media Dan Social Setting

Menurut Teun Adrianus Van Dijk (pakar linguistik teks dari Universitas Pompeu Fabra University, Barcelona)  menggarisbawahi pentingnya ’siapa yang bicara’ sebagai bagian dari konteks untuk memahami teks. Menurutnya, dua konteks paling penting yang paling memengaruhi produksi berita adalah participant dan social setting pada saat terjadinya peristiwa.

Liputan berita terjadi karena pilihan keliru atas narasumber. Kesalahan terjadi karena narasumber bukan pelaku, korban, saksi mata, yang berwenang (punya otoritas), atau yang berkemampuan (memiliki kapasitas tentang isu terkait). Dalam kasus terorisme, Kapolri atau Humas Mabes Polisi adalah narasumber kompeten. Tapi informasi ini harus dikonfirmasikan ke partisipan lainnya agar menjadi berita seimbang dan objektif. Tidak trial by the press. Menghindari bias berita atau framing media yang memberi label dan stigma.

Farid Gaban (seorang wartawan senior) mencontohkan, seseorang diberitakan teroris harus ada motif politik. Tanpa tujuan politik, kekerasan atau ancaman, tindak kekerasan itu hanya bersifat pidana (crime), Jadi kalau wartawan menulis berita seorang pelaku sebagai teroris jelaskan juga unsur menimbulkan ketakutan, kecemasan, dan motif politiknya. Ini tuntutan fairness dan keakuratan berita. Tanpa ada keterangan tersebut, maka  wartawan sudah pre judice. Berprasangka.

Sebuah teks peristiwa itu tidaklah lahir apa adanya. Ada social setting yang memengaruhi dari munculnya teks peristiwa tersebut. Bisa dipengaruhi oleh seseorang atau kehidupan pribadi dan kondisi sosial di lingkungan pelaku peristiwa itu hidup. Seseorang menjadi radikal bisa jadi dibuat oleh seseorang atau muncul dari kehidupan pribadi dan kondisi sosialnya.

Jadi wartawan harus memahami social setting untuk mendalami sebuah peristiwa yang terjadi dipengaruhi oleh siapa dan apa saja. Wartawan harus bisa cerdas,punya nalar kritis dan skeptis terhadap pernyataan seseorang. Wacana yang dibuat produsen teks bisa berbeda makna bagi penerima teks. Tidak peduli seberapa eksplisit kita berpikir bahwa kita telah mentekstualisasikan apa yang akan kita katakan, akan ada kemungkinan bakal ditafsirkan sebaliknya oleh penerima teks. Elemen yang paling krusial dalam melabel teroris adalah identitas agama (dalam hal ini agama Islam). Terorisme adalah kata tunggal dalam politik Amerika yang paling meaningless dan paling kerap dimanipulasi. Istilah itu tak ada hubungannya dengan aksi kekerasan, namun sangat berkaitan dengan identitas agama sang pelaku.

Belajar dari propaganda Bush: War Against Terrorism dan Weapon of Mass Distruction yang ternyata “ZONK”. Sudah semestinya kepolisian Republik Indonesia mengkaji ulang keberadaan Tim Densus 88 Antiteror dan minta agar anggaran puluhan triliun untuk kegiatan menggeledah rumah rakyat atau menembak mati orang yang dicurigai itu diselamatkan dan ditujukan untuk kepentingan kemakmuran rakyat Indonesia.

 

 

III.             PARADIGMA TEORI HEGEMONI ANTONIO GRAMSCI

Antonio Gramsci adalah seorang intelektual besar di kalangan kaum kiri, yang disebut sebagai pemikir terbesar setelah Karl Marx. Pemikiran-pemikiran Gramsci tertuang dalam banyak artikel yang dimuat di media massa.

Dari seluruh karya dan tulisannya, hegemoni dinilai sebagai ide sentral dan orisinal yang dikembangkan Gramsci. Teori Hegemoni dipandang telah membawa perubahan besar dan menimbulkan perdebatan pemikiran atas teori-teori perubahan sosial, terutama bagi yang menghendaki perubahan radikal dan revolusioner.

Hegemoni adalah sebuah sebuah upaya pemahaman akan suatu kelompok atau masyarakat dengan tujuan untuk merubahnya. Hegemoni menunjuk pada kuatnya pengaruh kepemimpinan dalam bentuk moral maupun intelektual, yang membentuk sikap kelompok yang dipimpin. Hal ini terjadi dalam citra konsensual yang diciptakan melalui pengaruh terselubung lewat pengetahuan yang disebarkan melalui perangkat-perangkat kekuasaan ataupun dengan pemaksaan.

Teori Hegemoni sesungguhnya adalah kritik terhadap konsep pemikiran yang mereduksi dan menganggap esensi suatu entitas tertentu sebagai satu-satunya kebenaran mutlak, utamanya reduksionisme dan esensialisme yang melekat pada pemikiran-pemikiran penganut Marxisme dan Non Marxisme.

Titik awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan dan persuasi. Hegemoni bukan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan, tetapi hubungan persetujuan dengan mengunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Dengan demikian, berbeda dengan makna aslinya dalam bahasa Yunani yang berarti penguasaan satu bangsa atas bangsa lainnya, hegemoni dalam pengertian Gramsci adalah sebuah organisasi konsensus dimana ketertundukan diperoleh melalui penguasaan ideologi dari kelas yang menghegemoni. Konsep Gramsci tentang negara integral menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya terpusat pada negara. Kekuasaan dipahami sebagai suatu hubungan, sehingga hubungan sosial masyarakat sipil juga merupakan hubungan kekuasaan. Konsep Gramsci tentang kekuasaan ini berbeda dengan dengan konsep marxisme klasik, termasuk Lenin, yang melihat kekuasaan terpusat pada negara dan berada di bawah control penuh kelas pemiliki kapital

Dengan kata lain, hegemoni adalah sebuah mata rantai strategi memperoleh kemenangan yang lebih banyak di dapat melalui mekanisme konsensus daripada melalui penindasan dan pemaksaan terhadap kelompok lainnya.

Polisi dalam hal ini Densus 88 ini sebagai entitas personifikasi kekuasaaan, yang lantas berelasi dengan media massa dalam penyampaian informasi dan tanpa verifikasi, media massa langsung menuliskan beritanya. Setiap kali peristiwa penangkapan terduga teroris di Indonesia terjadi, maka media secara langsung memberikan nama sebagai aksi terorisme. Dan seketika itu Hegemoni kekuasaan dan media saling berelasi memunculkan stigmatisasi terorisme pada umat Islam.

I. PENUTUP

3.1    Kesimpulan

Pada kesimpulan ini ada dua hal yang ingin saya tekankan :

Pertama, yaitu bahwa argumentasi utama Hegemoni adalah citra konsensual yang diciptakan melalui pengaruh terselubung lewat pengetahuan yang disebarkan melalui perangkat-perangkat kekuasaan ataupun dengan pemaksaan yang dilalukan Tim Densus 88 melalui pimpinannya membuat relasi Hegemoni dengan media sehingga terjadi stigmatisasi teroris pada umat Islam yang menyebar luas ke masyarakat.

Kedua, Stigmatisasi teroris, Itulah yang telah diberikan oleh Densus 88 kepada keluarga umat Islam yang menjadi terduga teroris. Padahal belum tentu benar seperti itu keadaan sebenarnya, tapi karena relasi hegemoni media sehingga menyebabkan berita yang tersebar menjadi bias, bahkan hoax. Dari kasus ini bisa jadi  Produsen hoax terbesar itu justru adalah “Penguasa”.


DAFTAR PUSTAKA

 

-          Littlejohn, S. W. 2008. Theories of Human Communication 9th Edition. Belmont CA:Wadsworth N/A.

-          Bocock, Robert, 2007. Pengantar Komprehensif untuk Memahami Hegemoni.

Yogyakarta, Jalasutra.

-          Patria, Nezar & Arief, Andi, 2015. Antonio Gramsci, Negara dan Hegemoni.

Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

-          Waluyo, Sapto. 2009. Kontra Terorisme, Dilema Indonesia di Masa Transisi. Jakarta: Media Center.

-          https://megapolitan.kompas.com/read/2021/04/28/03200081/kronologi-30-menit-penangkapan-munarman-oleh-densus-88-antiteror-di?page=all. (Diakses pada tanggal : 30 April 2021)

-          https://nasional.kompas.com/read/2021/03/18/14570571/22-terduga-teroris-yang-diamankan-densus-88-di-jawa-timur-tiba-di-jakarta. (Diakses pada tanggal : 30 April 2021)

 








Jumat, 05 Oktober 2018

PERANCANGAN BUKU KARAKTER DESAIN SUPERHERO WANITA DENGAN MEMANFAATKAN KEARIFAN BUDAYA LOKAL NUSANTARA


Kusnadi1) , Muhammad Miftah Z2)
1)Dosen Program Studi DKV, Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal
2)Mahasiswa Program Studi DKV, Institut Sains dan Teknologi Al-Kamal
Jl. Raya Kedoya Al Kamal No.2, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta 11520



Abstrak

Indonesia sangat kaya akan kebudayaan lokal yang tersebar di seluruh Nusantara. Hal tersebut memiliki potensi yang besar untuk dijadikan identitas bangsa. Perancangan ini tentang desain karakter superhero-superhero wanita dengan memanfaatkan kearifan budaya lokal nusantara. Karakter superhero akan menampilkan kearifan budaya lokal yang ada di pulau besar di Indonesia, antara lain; Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua. Metode yang dilakukan dalam perancangan ini adalah dengan mengolah data primer dan sekunder kemudian dianalisis untuk menemukan data visual karakter superhero yang dibutuhkan dan mewakili ciri khas kearifan budaya lokal nusantara, baik berupa bentuk, warna tampilan wajah, aksesori dan lain-lain. Peracangan ini diharapkan akan memberikan keunikan sendiri pada setiap karakter dan mewakili ciri khas lokal wisdom nusantara. Hasil dari perancangan ini adalah berupa buku ilustrasi karakter desain superhero wanita.

Kata Kunci : Superhero, Wanita, Kearifan Budaya Lokal, Nusantara

Abstract

Indonesia is very rich in local culture spread throughout the archipelago. It has great potential to be the identity of the nation. This design is about the design of superhero characters by utilizing local wisdom nusantara. Superhero characters will display local wisdom on the big islands in Indonesia, among others; Sumatra, Java, Kalimantan, Sulawesi and Papua. The method used in this design is to process the primary and secondary data and then analyzed to find the visual data required superhero characters and represent the local characteristics of the wisdom nusantara, whether in the form, the color of the face, accessories and others. This cultivation is expected to give its own uniqueness to each character and represent the local characteristics of the wisdom of the nusantara. The result of this design is a illustration book character design woman superheroes.

Keywords: Superhero, Woman, Local Wisdom, Nusantara
 









































I. PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang Masalah
       Kebudayaan yang dimiliki suatu bangsa merupakan identitas suatu bangsa. Dengan memahami suatu kebudayaan yang dimiliki bangsa, akan mempelajari pula sejarah dan perkembangan bangsanya. Selain itu kebudayaan juga merupakan salah satu kekayaan non materiil sebuah bangsa yang memiliki arti penting dalam usaha untuk mempertahankan nilai-nilai luhur budaya lokal dalam menghadapi globalisasi.
        Dalam pandangan budaya masyarakat Indonesia, ada anggapan bahwa wanita adalah makhluk lemah. Hal ini merupakan warisan di masa kolonial belanda yang menurut patriarki wanita itu lemah. Ditinjau dari sejarah bangsa Indonesia, terdapat banyak pahlawan wanita di Indonesia antara lain, Cut Nyak Dien, RA Kartini, Dewi Sartika, dan masih banyak lagi. Hal tersebut membuktikan bahwa wanita bukanlah lemah. Tetapi angka kasus kekerasan terhadap perempuan masih tinggi.
      Menurut Komnas Perempuan dalam Lembar Fakta Catatan Tahunan yang diterbitkan pada 7 Maret 2017, ada 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dan ditangani selama tahun 2016 yang terdiri dari 245.548 kasus bersumber pada data kasus/perkara yang ditangani oleh 359 Pengadilan Agama, serta 13.602 kasus yang ditangani oleh 233 lembaga mitra pengada layanan, tersebar di 34 Provinsi.
       Karakter desain figure superhero sejauh ini mampu menarik perhatian pemirsa khususnya remaja. Remaja sangat mudah mengikuti perkembangan superhero-superhero yang banyak bermunculan. Hal ini karena dalam diri remaja terdapat rasa ingin tahu yang tinggi. Pada remaja, ada fase pembentukan konsep diri, mereka akan memilih karakter jati dirinya. Dan disini mereka akan memilih superhero yang mereka sukai.
       Cara edukasi melalui sebuah figure superhero tentu akan lebih efektif menyampaikan pesan pada kalangan remaja tersebut. Dalam hal ini menggunakan edukasi budaya yaitu kebudayaan dan kearifan lokal nusantara. 
       Berdasarkan uraian maka penulis merasa perlu untuk membuat penelitian tentang perancangan desain karakter superhero. Perancangan Superhero wanita dengan memanfaatkan kearifan budaya lokal Nusantara yang akan menampilkan kebudayaan - kebudayaan Indonesia khususnya di 5 (lima) pulau besar yang ada di Nusantara.

1.2  Identifikasi Masalah
Berdasarkan hal tersebut diatas, dapat di identifikasi masalah sebagai berikut :
1.2.1    Bagaimana merancang karakter desain superhero wanita dengan memanfaatkan kearifan budaya lokal nusantara dari lima pulau besar Indonesia?
1.2.2    Bagaimana menanamkan rasa cinta tanah air melalui pengenalan budaya lokal Nusantara khususnya pada remaja?

1.3  Tujuan Perancangan
       Tujuan perancangan ini antara lain :
1.4.1    Merancang karakter desain superhero wanita dengan memanfaatkan kearifan budaya lokal Nusantara.
1.4.2    Menanamkan rasa cinta tanah air melalui pengenalan budaya lokal Nusantara.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.3  Karakter Desain
       Karakter desain adalah perancangan dan penciptaan tokoh atau karakter. Karakter desain biasa digunakan dalam komik, film animasi, video game dan masih banyak lagi. Khasnya, kekuatan dan kelemahan sebuah karakter telah diatur sedemikian rupa berdasarkan data-data.
       Tokoh cerita menurut Abrams (Nurgiyantoro, 2000:165) adalah orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tokoh adalah individu rekaan pada sebuah cerita sebagai pelaku yang mengalami peristiwa dalam cerita.
       Karakter menurut KBBI sinonim dengan kata tabiat, yang berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.
2.2 Komunikasi Visual Karakter Desain
        Karakter desain merupakan produk converge atau gabungan dari elemen bahasa visual. Ikon, indeks serta simbol dari apa yang melatarbelakangi keterciptaannya. Jika itu sebuah produk maka karakter desain tersebut harus bisa mempresentasikan produk tersebut. Jika karakter desain berlatar belakang kebudayaan dan kearifan lokal, maka harus dapat mempresentasikan kebudayaan dan kearifan lokal tersebut.
2.3 Superhero Wanita
      Superhero atau super hero berasal dari kata super dan hero. Dalam kamus bahasa Indonesia (Tri Rama K)  Super berarti lebih dari yg lain; luar biasa, istimewa dan hero yang berarti 1 orang yg dihormati karena keberanian (pribadi yang mulia dsb); pahlawan; 2 orang yang dikagumi karena kecakapan, prestasi, atau karena sebagai idola; 3 tokoh utama di novel, puisi, dan sebagainya yang mampu menimbulkan rasa simpati pembaca.
      Istilah hero sudah ada sejak lama yaitu sejak jaman Yunani Kuno. Terdapat kisah kepahlawanan yag terdapat dalam puisi, novel, dan cerita kuno dengan latar yunani kuno. Diantaranya seperti The Great Alexander, Oddyseus, Zeus, dan sebagainya. Kemudian setelah masa Yunani kuno juga ada kisah kepahlawanan. Diantarnya yaitu Robin Hood, Zorro dan lain sebagainya.
       Superhero menjadi tokoh utama dalam komik aksi, dipublikasikan secara besar-besaran di Amerika Serikat, sejak 1938. Yang paling terkenal di abad ke 20 adalah komik Superman, sebuah tokoh impian Jerry Siegel dan Joe Shuster. Tokoh tersebut mendapat perhatian pembaca dari semua kalangan usia. Sebuah simbol harapan dan perlawanan pada zaman tersebut.
       Tidak lama setelah itu, pada masa Perang Dunia II, penerbit MLJ atau yang sekarang dikenal dengan Archie Comics, memberikan kepada pembaca sebuah sosok pahlawan super merah putih biru dari Shield, yang oleh Joe Simon dan Jack Kirby disebut Captain Amerika.
       Sejak saat itu, kisah mitologi modern superhero mulai memenuhi di sejumlah media. Hal tersebut menjadi tontonan yang atraktif dan menarik. Setahun tersebut, karena permintaan komik yang tinggi, para penerbit, penulis mulai melahirkan supehero dan musuhnya dari mitologi kuno untuk diangkat menjadi kisah komik.
       Stan lee menulis dalam bukunya How to Draw Superheroes, bahwa ada ungkapan wanita adalah spesies yang lebih ‘mematikan’ dibandingkan seorang pria. Kisah Supehero wanita adalah factor yang membuat kesuksesan komik Marvel. Jadi bukan hanya seorang wanita cantik tapi ada kisah yang menarik ada di dalamnya.
       Ada banyak sekali Superhero Wanita di dunai komik, luar maupun dalam negeri. Superhero wanita dari luar negeri antara lain: Black Widow, Mrs. Marvel, The Wasp, America Chavez, X-23, Zatanna, Black Canary, Rogue, Jean Grey / Phoenix, Storm dan masih banyak lagi.  Atau dengan nama-nama superhero wanita lokal antara lain, Merpati, Sri Asih, Santini, Saras 008, Sriti dan lain-lain.
2.3.1 Wanita
       Menurut Tri Rahma K dalam kamus bahasa indonesia, wanita berarti perempuan dewasa. Wanita adalah kata yang umum digunakan untuk menggambarkan perempuan dewasa. Perempuan yang sudah menikah juga biasa dipanggil dengan sebutan ibu. Untuk perempuan yang belum menikah atau berada antara umur 16 hingga 21 tahun disebut juga dengan anak gadis.
       Kartini Kartono (Psikologi Wanita 2006:177-185) mengungkap beberapa perbedaan karakter pria dan wanita, antara lain,
1. Wanita lebih tertarik pada hal praktis daripada hal-hal teoritis.
2. Wanita lebih dekat pada masalah-masalah kehidupan praktis konkrit.
3. Wanita bersifat lebih spontan dan impulsive.
4.  Wanita pada hakekatnya lebih bersifat hetero-sentris dan lebih sosial.
5. Wanita lebih mengarah keluar atau lebih peduli dengan subjek lainnya.
6. Wanita bersifat conserverend, memupuk-memelihara dan mengawetkan terhadap barang-barang dan manusia lainnya.
7. Wanita memiliki sifat sekundaritas, emosionalitas dan aktivitas yang terletak pada perasaan bukan di bidang intelek.
8. Wanita lebih mudah tegang-cemas, akan tetapi juga bisa tabah-berani, dan keras.
9.  Wanita lebih peka terhadap nilai-nilai estetis.
10. Wanita pada hakekatnya lebih spontan dan lebih mempunyai kepastian jiwa terhadap keputusan-keputusan yang telah diambilnya, dan lebih antusias mempertahankan pendiriannya.
11. Wanita lebih bersifat alamiah.
12. Totalitas wanita terletak pada perasaan bukan objektif.
13. Wanita pada umumnya lebih akurat dan lebih mendetil.
14. Wanita lebih suka menyibukkan diri dengan berbagai macam pekerjaan ringan.       
       Maka secara ringkas dapat dikatakan, bahwa perbedaan kaum pria dan wanita itu bukan terletak pada adanya perbedaan yang esensial dari tempramen dan karakternya, akan tatapi pada perbedaan struktur jasmaniahnya. Perbedaan tersebut mengakibatkan adanya perbedaandalam aktifitas sehai-hariannya. Dan hal ini menyebabkan timbulnya perbedaan pula pada fungsi sosialnya di tengah masyarakat.
2.4 Kearifan Budaya Lokal Nusantara
 2.4.1 Kearifan Budaya Lokal
      Pengertian Kearifan Lokal dilihat dari kamus Inggris Indonesia, terdiri dari 2 kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat dan wisdom sama dengan kebijaksanaan. Dengan kata lain maka kearifan budaya lokal dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan, nilai-nilai-nilai, pandangan-pandangan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
       Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (Ayatrohaedi, 1986). Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi, 1986:18-19). Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang.

Ciri-cirinya adalah:
1. Mampu bertahan terhadap budaya luar.
2. Memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.
3. Memunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
4. Memunyai kemampuan mengendalikan.
5. Mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
       Secara filosofis, kearifan lokal dapat diartikan sebagai sistem pengetahuan masyarakat lokal/pribumi (indigenous knowledge systems) yang bersifat empirik dan pragmatis. Bersifat empirik karena hasil olahan masyarakat secara lokal berangkat dari fakta-fakta yang terjadi di sekeliling kehidupan mereka. Bertujuan pragmatis karena seluruh konsep yang terbangun sebagai hasil olah pikir dalam sistem pengetahuan itu bertujuan untuk pemecahan masalah sehari-hari (daily problem solving).
       Kearifan lokal menjadi penting dan bermanfaat hanya ketika masyarakat lokal yang mewarisi sistem pengetahuan itu mau menerima dan mengklaim hal itu sebagai bagian dari kehidupan mereka. Dengan cara itulah, kearifan lokal dapat disebut sebagai jiwa dari budaya lokal.
2.4.2 Nusantara
       Secara etimologi, kata ”nusantara” tersusun dari dua kata, ”nusa” dan ”antara”. Jika dikupas dari kata per kata, kata ”nusa” dalam bahasa Sanskerta berarti pulau atau kepulauan. Sedangkan dalam bahasa Latin, kata ”nusa” berasal dari dari kata nesos yang menurut Martin Bernal dapat berarti semenanjung, bahkan suatu bangsa. Merujuk pada pernyataan Bernal tersebut, maka kata ”nusa” juga mempunyai kesamaan arti dengan kata nation dalam bahasa Inggris yang berarti bangsa. Dari sini bisa ditafsirkan bahwa kata ”nusa” dapat memiliki dua arti, yaitu kepulauan dan bangsa. (Bugiskha, 2002)
       Kata kedua yaitu ”antara” memiliki padanan dalam bahasa Latin, in dan terra yang berarti antara atau dalam suatu kelompok. ”Antara” juga mempunyai makna yang sama dengan kata inter dalam bahasa Inggris yang berarti antar (antara) dan relasi. Sedangkan dalam bahasa Sanskerta, kata ”antara” dapat diartikan sebagai laut, seberang, atau luar (sebagaimana pemaknaan dalam Sumpah Palapa Patih Gadjah Mada di Kerajaan Majapahit). Dari sini bisa ditafsirkan bahwa kata ”antara” mempunyai makna, yaitu antar (antara), relasi, seberang, dan laut.

2.2.   Kerangka Pemikiran
Untuk mencapai tujun dari perancangan ini ada beberapa tahap yang penulis lakukan, berikut bagan pemikiran peracangannya :
 

Gambar 2.2. Kerangka Pemikiran

III. KONSEP PERANCANGAN

3.1  Metode Perancangan
Metode perancangan yang digunakan dalam perancangan ini adalah metode perancangan disain komunikasi visual, yaitu tahap deskristif, tahap analisis, tahap sintesis serta tahap evaluasi. Adapun rincianya adalah sebagai berikut.
1. Tahap deskristif
Tahap ini meliputi tahap riset, menetukan inti masalah, memfokuskan tujuan / objektif/goal komunikasi, mengumpukan data-data, baik dari observasi, wawancara ataupun mengambil dari data yang sudah ada sebelumnya yang relevan.
2. Tahap analisis
Membuat analisis materi (tema/objek) yang akan ditulisdan ditampilakan, variabel sasaran (geografi, demografi, psikografi , perilaku), dan menambahkan Values.
3. Tahap sintesis
Tahap ini untuk merumuskan analisis. Dalam perancangan buku, tahap ini merumuskan keywords, tema, karakteristik buku, disain layout sesuai dengan sasaran. Sintesis juga memerlukan pemilihan media, sebagai kendaraan untuk mengantarkan gagasan/pesan. Selanjutnya tahap ini merancang visualisasi dengan pendekatan yang dibutuhkan (metafor, simbolis, allegory, simile), gaya visual, pemilihan warna, tipografi . Tahap visual ini melalui proses berupa sketsa/ide awal, comprehensive/ presentation visual dan aplikasinya. Terakhir proses produksi dan finishing.

4. Tahap evaluasi.
Tahap ini bisa menjadi uji coba keberhasilan layout dan disain setelah melalui tahap cetak. Karena banyak hal yang mungkin berbeda ketika hasil cetak telah didapatkan.
       Setelah ketiga tahap tersebut dilakukan maka akan diperoleh suatu konsep perancangan.

Konsep perancangan buku superhero wanita ini berawal dari Mind Mapping yang akhirmya menemukan big idea. Berikut mapping visual :


Gambar 3.2 Mapping Visual


3.2  Strategi Perancangan
3.3.1.1.  Big Idea
        Ide awal dalam perancangan buku karakter desain superhero wanita ini terdorong dari rasa kekaguman penulis terhadap budaya lokal Indonesia yang kaya dan beragam yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara dari Sabang sampai Merauke.
       Sesuai dengan judul dan batasan masalah, maka adak ada 5 (lima) karakter superhero wanita yang akan dimunculkan dalam perancangan ini. Setiap masing masing karakter desain akan mewakili dan membawakan unsur unsur budaya lokal daerahnya masing masing.

3.3.1.2. Target Audience
        Sasaran dari perancangan buku ini adalah remaja pria maupun wanita. Karena dalam usis-usia tersebut terjadi pembentukan karakter sehingga mudah terpengaruh oleh hal-hal di sekitarnya. Adapun rincian target audience ditinjau dari segi demografis, psikografis, perilaku dan geografis adalah:
a. Demografis
Jenis kelamin               : Pria dan Wanita
Usia                             : 12 – 22 tahun (Remaja awal – Remaja akhir)
Pekerjaan                     : Pelajar, Mahasiswa dan Pekerja
Ekonomi                      : Menengah, Menengah atas.
b. Psikologi
Peminatan tokoh Superhero
Kecintaan terhadap budaya nusantara
c. Perilaku Aktif  dan Modern  Menyukai aksi

3.3.1.3.  Tujuan Kreatif
       Tujuan kreatif dalam perancangan buku karakter desain superhero adalah menyampaikan pesan budaya lokal Indonesia dan untuk menjaganya tetap eksis dikalangan remaja. Sehingga tertanam rasa cinta tanah air melalui pengenalan budaya lokal Nusantara.

3.3.1.4.  Strategi Kreatif
       Untuk perancangan Buku karakter desain superhero ini, dibutuhkan pemahaman pada latar belakang masalah yang bersangkutan, sehingga untuk bisa mengatasi permasalahan yang ada, adapun dengan strategi Brand Motivation, antara lain:
- Menciptakan karakter superhero modern yang disesuaikan pada target sasaran tanpa menghilangkan nilai-nilai tradisional didalamnya.
- Memperkuat pemahaman terhadap budaya lokal yang dikemas dengan desain dan konsep yang baik dan sesuai ketika dikenalkan kepada masyarakat nanti dapat diterima dan diingat dalam benak masyarakat.

3.3  Skema Konsep Perancangan Buku Karakter Desain

 

Gambar 3.3 Skema Perancangan Buku


3.3.2.2.  Struktur Rancangan Buku
       Buku karakter desain merupakan buku konsep, buku yang berisi menenai konsep desin karakter. Adapun fisiknya,
a.         Jenis buku
Buku konsep yang berisi ilustrasi karakter desain beserta uraian konsep perancangan dan penggunaannya
b.         Format
Dipilih format lanscape dengan bentuk portrait ukuran 20.5cm x 17 cm dengan halaman awal dari kanan ke kiri.
c.         Jumlah halaman
60 halaman. Selain Cover dan halaman-halaman tambahan.
d.         Anatomi buku
Terdiri dari bagian depan, isi dan belakang.
1. Bagian depan:
a. Cover depan, dengan warna dominan hijau, dengan tambahan pose   karakter desain, judul buku : Superheroines Nusantara, nama pengarang,  serta elemen visual atau teks lainnya.
b. Judul bagian dalam


2. Bagian isi

       Isi buku terdiri dari penjelasan konsep dan visualisasi superhero dari mulai sketch kasar awal hingga finalisasi desain. Terdiri dari pendahuluan yaitu uraian singkat tentang nusantara serta perjuangan-perjuangan bangsa Indonesia khususnya oleh para pejuang wanita, dan bagian utama yaitu 5 (lima) karakter desain superhero wanita dari kelima pulau besar Indonesia yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua.dan  menampilkan pose, ekspresi, kostum, aksesori dan elemen lainnya.
3. Bagian belakang
       Cover belakang berisi gambaran singkat mengenai sisi buku, nama atau logo penerbit, elemen visual atau teks lainnya.
e.         Gramasi kertas
Cover menggunakan hardcover sedang isi menggunakan kertas art paper 150gsm.
3.3.3 Konsep Visual
3.3.3.1. Buku
       Perancangan buku harus dilakukan secara cermat baik dalam isi maupun konsep visual yang ditampilkan. Pemilihan unsur visual yang menarik akan menambah nilai dan lebih menari perhatian. Pemilhan elemen visual pada buku Superheroines of Nusantara meliputi :

a.         Bentuk dan ukuran
Berbentuk segi empat yang menciptakan psikologi kejujuran kasesuaian, kedamaian, keamanan, kesetaraan ini juga mudah untuk dibawa dan disimpan.
b.         Warna
       Warna sampul didominasi dengan warna hijau tua dengan pantone color  11323c dengan tambahan warna putih dan hitam pada teks dan elemen pendukung. Warna tersebut dipilih karena melambangkan penyembuhan, kehidupan, kemakmuran, regenerasi, dan pemeliharaan. Serta warna gelap yang menimbulkan kesan yang dramatik.
c.         Tipografi
       Ada berapa jenis huruf yang digunakan. Tipografi dekoratif digunakan untuk penamaan nama karakter; masing masing karakter miliki tipografi untuk nama berbeda disesuaikan dengan karakteristik karakter. Kemudian untuk penggunaan dalam buku, dalam hal ini adalah luraian lokal wisdom jenis font (huruf) yang digunakan juga tidak terlepas dari kebutuhan tema serta menunjang visualisasi tampilan halaman. Adapun jenis font yang digunakan dalam buku karakter desain ini adalah :

-           Teen

a b c d e f g h i j k l m  n o p q r s t u v q r s t u v w x y z A B C D E F G H I J K L M N O P Q R S T U V W X Y Z 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 ! @ # $ % ^ & * ( ) _ + - = [ ] \ { } | ; ’ : ” , . / < > ?


3.3.3.2.Karakter

Untuk mencapai suatu tujuan kreatif, maka dibutuhkan strategi yang efektif sehingga dapat meraih perhatian (attention), menumbuhkan minat (interest), merangsang keinginan (desire), dan memperoleh tindakan (action). Dalam mendapatkan kesemua itu perlu diadakan langkah yang meliputi

a.Style Gambar    
      Menyesuaikan dengan target audience yang ingin disasar, maka style gambar yang digunakan oleh penulis adalah Semicartoon Style dan disesuaikan dengan gaya gambar penulis itu sendiri.

b.Warna  
       Warna yang dipakai adalah warna-warna cerah. Masing-masing karakter ditampilkan dengan warna dominasi yang didapat dari data karakteristik lokal wisdom budaya setempat. Hal ini mengakibatkan kemungkinan terjadi kemiripan warna dominan.


IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pra Produksi
4.1.1 Modifikasi Unsur Visual
       Unsur-unsur visual wisdom daerah yang ada dipilih untuk dijadikan aksesoris dan tampilan visual pada karakter superhero.

        Berikut unsur-unsur lokal wisdom tersebut :






1.      Jawa

No
Artefak Budaya
Penjelasan
Modifikasi
1
adalah riasan pengantin adat Jawa yang merupakan simbol dari kecantikandan kedewasaan seorang wanita Jawa. Riasan paes ini memiliki beberapa lekukan yang memiliki makna yang mengandung kesakralan maupun makna filosofi dalam setiap detailnya.


2

Secara filosofis, motif batik Parang memang memiliki kandungan makna yang tinggi. Bahasa simbol yang terkandung di dalamnya adalah sebuah pesan bahwa sebagai manusia hendaknya tidak pernah menyerah dalam mengarungi kehidupan, sebagaimana ombak di samudera yang tak pernah lelah untuk bergerak.



3
Memiliki makna bahwa setiap manusia harus mampu meredam amarah dalam situasi dan kondisi apapun, hati manusia diharapkan bisa tetap ‘adem’ i menyejukkan suasana di sekitarnya.










  1. Sumatera
No
Artefak Budaya
Penjelasan
Modifikasi
1
Sekura merupakan jenis topeng yang digunakan dalam perhelatan pesta sekura. Pesta sekura merupakan perhelatan rutin masyarakat Kabupaten Lampung Barat.












3
Cawek (ikat pinggang) :
 Melambangkan setiap sesuatu itu harus dengan rundingan menyelesaikannya. Melambangkan keteguhan orang Minangkabau pada perjanjian.


2





Ulos merupakan pakaian khas suku Batak di Sumatera Utara, bentuknya menyerupai selendang dengan panjang sekitar 1,8 meter dan lebar 1 meter, kedua ujungnya berjuntai-juntai dengan panjang sekitar 15 cm dan mereka menenun dari benang kapas atau rami.











4
Sarung (lambak)
Sarung (lambak) :  
Melambangkan bahwa dia seorang ”putri” yang memiliki tertib sopan dan mempunyai rasa jormat menghormati. Warna merah atau minimal kemerah-merahan sebagai lambang keberanian dan bertanggung jawab. Melambangkan bahwa segala sesuatu harus diletakkan pada tempatnya.


5
Senjata Karambit, atau disebut juga dengan Karambiak, Kurambiak, Kerambit adalah senjata jenis pisau genggam kecil berbentuk melengkung dari Indonesia yang telah mendunia.



3.      Kalimantan

No
Artefak Budaya
Penjelasan
Modifikasi
1

Gambar 4.15 Mandau

Sumber : oriental-arms.com

Mandau yang mengakar dari seni budaya peradaban tempa logam masyarakat dayak membentuk identitas adat sakral masyarakat dayak. Mandau merupakan simbol persaudaraan, kesatria, penjaga, tanggungjawab dan kedewasaan.

Gambar 4.16    Mandau Modifikasi



2
              

Gambar 4.17   Ta’a

Sumber : awestore.web.id

Pakaian adat Ta’a adalah pakaian perempuan adat suku Dayak Kenyah. Pakaian ini terdiri dari da’a (semacam ikat kepala yang dibuat dari pandan), baju atasan sapei inoq, serta rok ta’a. Sedangkan pakaian adat Sapei Sapaq merupakan pakaian laki-lakinya. Tidak berbeda dengan Ta a, pakaian adat Sapei Sapaq juga memiliki gaya yang sama. Corak pakaian adat Kalimantan Timur sangat beragam. Ada yang coraknya bergambar burung enggang dan harimau serta corak tumbuhan.

Gambar 4.18         Ta’a Modifikasi



4.      Sulawesi

5.      No
Artefak Budaya
Penjelasan
Modifikasi
1
Gambar 4.19 Passapu
Passapu adalah destar yang terbuat dari kain tenun berbahan katun. Motifnya biasa disebut "Cura Ca'di". Ada yang ditenun dengan warna merah polos atau hitam. Passapu dipakai dalam pergaulan sehari - hari oleh para anak karaeng (bangsawan) dan para tubaranina (ksatria) suku Makassar pada zaman kerajaan.
2
Gambar 4. 21   Tari Kabasaran
Tari Kabasaran adalah tarian tradisional sejenis tarian perang masyarakat Minah Sumberasa di Sulawesi Utara. Tarian ini biasanya dimainkan oleh para penari pria yang menari dengan menggunakan pakaian perang dan senjata seperti pedang, tombak dan perisai. Tarian kabasaran merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di kalangan masyarakat Minahasa dan sering ditampilkan pada acara seperti upacara adat, penyambutan dan berbagai acara lainnya.

3
Baju adat Toraja untuk wanita, disebut Baju Pokko’.  Baju Pokko’ berupa baju dengan lengan yang pendek. Warna kuning, merah, dan putih adalah warna yang paling sering mendominasi pakaian adat Toraja

4
Gambar 4.25 Badik
Badik atau badek adalah pisau dengan bentuk khas yang dikembangkan oleh masyarakat Bugis dan Makassar. Badik bersisi tajam tunggal atau ganda. Seperti keris, bentuknya asimetris dan bilahnya kerap kali dihiasi dengan pamor. Namun demikian, berbeda dari keris, badik tidak pernah memiliki ganja (penyangga bilah).





5. Papua
1
Gambar 4.27 Pakaian Suku Asmat
Pakaian Suku Asmat dilengkapi hiasan kepala berbentuk seperti mahkota. Unsur yang digunakan masih berupa rumbai-rumbai yang juga terbuat dari daun sagu. Jika Suku Dani menggunakan koteka, penduduk Suku Asmat menggunakan pakaian adat Rumbai-Rumbai. Rumbai-Rumbai dibuat dari daun sagu. Untuk pakaian yang digunakan oleh kaum perempuan, bentuknya berupa rok sedangkan pakaian pria hanya untuk menutupi bagian tertentu. Lukisan yang terdapat di tubuh masyarakat Suku Asmat memiliki makna tertentu. Warna yang digunakan pun hanya perpaduan warna merah dan putih yang ditorehkan di atas kulit mereka.

2
Tarian ini menggambarkan jiwa kepahlawanan dan kegagahan masyarakat Papua. Tari Perang merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup terkenal di Papua Barat.

4.2 Produksi
4.2.1 Sketsa
       Sketsa adalah proses awal dari sebuah perancangan yang meliputi tampilan visual seperti, karakter, huruf, tata letak, warna maupun format desain. Proses tersebut biasa dilakukan dengan cara manual dan bisa juga melakukannya dengan cara digital.
      Pada tahap manual yaitu perancangan grafis dengan menggunakan keterampilan tangan dan alat-alat gambar (tanpa mesin), meliputi pembuatan sketsa illustrasi/ gambar dengan menggunakan pensil.
      Sketa pensil menggunakan pensil mekanik 0.5mm dengan kepekatan 2B. Pada media kertas hvs 100 gsm putih.



1.     
SINTA (Superhero Wanita Jawa)

Gambar 4.32 Sketsa pose SINTA (karakter superhero wanita Jawa)

Sumber : dokumen. pribadi

Gambar 4.33 Sketsa ekspresi SINTA (karakter superhero wanita Jawa)

Sumber : dokumen. pribadi



Gambar 4.34 Sketsa action SINTA (karakter superhero wanita Jawa)

2.      TARIDA (Superhero Wanita Sumatra)

 

Gambar 4.38 Sketsa ekspresi TARIDA (karakter superhero wanita Sumatra)

Sumber : dokumen. Pribadi



3.       JENTA (Superhero Wanita Kalimantan)





Gambar 4.44 Sketsa action JENTA (karakter superhero wanita Kalimantan)
Sumber : dokumen. Pribadi

4.         SANNA (Superero Wanita Sulawesi)

 




Gambar 4.49 Sketsa action SANNA ( karakter superhero wanita Sulawesi)

Sumber : dokumen. pribadi




5.      YOSELIA (Superhero Wanita Papua)




 Gambar 4.54 Sketsa action YOSELIA (karakter superhero wanita Papua)

Sumber : dokumen. pribadi

4.2.2 Coloring
       Proses digitalisasi dilakukan untuk memberi warna pada karakter desain. Mulai dai warna kulit, aksesoris yang dipakai dan yang digunakan, serta kostum yang dikenakan. Alat yang digunakan untuk proses pendigitalan  yaitu perangkat computer yang didalamnya ada perangkat lunak Adobe Photoshop CS6 serta pen tablet Wacom CTH 480.
       Langkah pertama yaitu menyiapkan lembar kerja pada photoshop. Dengan ukuran lembar kerja 21cm x 29.7cm.

       Berikut adalah gambar hasil pewarnaan sketsa menggunakan photoshop :

1.      SINTA (Superhero Wanita Jawa)






2.      TARIDA (Superhero Wanita Sumatra)






Gambar 4.81 Gambar action superhero Kalimantan  yang telah selesai diwarna
3.      JENTA (Superhero Wanita Kalimantan)

Gambar 4.81 Gambar action superhero Kalimantan  yang telah selesai diwarna
 

4.      SANNA (Superero Wanita Sulawesi)


Hendriyana.(2000). Makna Simbolik Motif Gunungan pada Batik. Puslitmas STSI Bandung, Bandung.
[5]

 













Gambar 4.87 Gambar action superhero pulau Sulawesi yang telah diwarna


5.      YOSELIA (Superhero Wanita Papua)





4.3 Pasca Produksi
       Setelah proses produksi selesai maka hal yang dilakukan adalah mencetak artwork ke dalam bentuk cetak, serta dijilid dengan hard cover.


BAB V  PENUTUP

5.1  Kesimpulan
        Kesimpulan yang diperoleh dari perancangan buku karakter desain superhero wanita dengan memanfaatkan lokal widom nusantara adalah sebagai berikut;
- Faktor yang paling berpengaruh pada hasil akhir perancangan karakter desain yaitu konsep tema perancangan, style gambar, unsur visual, dan target market. Sehingga eksistensi sebuah karakter desain menjadi ada dan dirasakan dalam imajinasi remaja.

      5.2 Saran
- Dalam pembuatan sebuah buku karakter desain penulis hanya memprioritaskan tentang elemen-elemen visual, hal lain dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan pesan yang akan disampaikan kepada target audience atau target market.


DAFTAR PUSTAKA

- Ayatrohaedi. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
- Cangara, H. Hafied.2008. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
- Kartono, Kartini. 1992. Psikologi Wanita Jilid I (Mengenal Gadis Remaja dan Wanita Dewasa). Bandung : Mandar Maju.
- Lee, Stan. 2013. Stan Lee’s  How to draw Superheroes. New York: Watson Gupil Publications.
-Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung : Remaja Rosdakarya.
- Putri. Debora D A. “Kearifan Lokal di Lingkungan Masyarakat” http://jejakjejak hijau.blogspot.co.id/2012/01/kearifan-lokal-di-lingkungan-masyarakat.html, 12 Mei   2017 pukul 22.07 WIB
- Sopari, Ridwan. 2010. “Teori Layout Frank Jefkins”
Supriyono, Rachmat. 2010. Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta:Andi.
-- Amsia,Tontowi. 2008. Perspektif Kewiraan dalam Ketahanan Nasional. Universitas Lampung: Bandar Lampung
Arthur, SM. “Aliran Gaya Menggambar”. http://arthworks.blogspot.co.id/2011/ 12/aliran-gaya-menggambar-komik.html, diakses pada 18 Agustus 2017 pukul 22.14 WIB
- Aryakulo. 2016 “Mengenal 4 Prinsip Dasar Desain Layout” http://rizki.id/ mengenal-4-prinsip-dasar-desain-layout/, diakses pada 20 Juni 2017 pukul 12.35 WIB.

- Bugiska, Chucky. 2012. “Definisi Nusantara”https://bugiskha.wordpress.com/ 2012/03/21/definisi-nusantara/, diakses pada 12 Mei 2017 pukul 23.00 WIB.
- Fajrin, Rifan. 2016. “Pengertian Tokoh dan Jenis-Jenis Tokoh dalam Cerita”,