RELASI HEGEMONI KEKUASAAN DAN MEDIA PADA STIGMATISASI TERORIS UMAT ISLAM
KUSNADI (2020630023)
I.
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Masalah
Beberapa waktu belakangan
ini, isu terorisme menjadi isu yang acapkali menjadi isu dominan dalam wacana
publik. Awal April 2021 yang lalu ada berita viral dari salah satu akun
Facebook tentang curahan hati seorang wanita yang suaminya ditangkap Densus 88
karena diduga terlibat dengan kegiatan terorisme (https://www.facebook.com/sitihairul.dayah).
Intinya mengklarifikasikan kepada publik netizen bahwa suaminya yang ditangkap
Densus 88 itu tidak ada sedikitpun hubungannya dengan tindak terorisme.
Beberapa kemudian,
tepatnya Selasa 27 April 2021 media juga ramai memberitakan tentang Detasemen
Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri yang menangkap Munarman (eks Juru Bicara
Front Pembela Islam (FPI), karena diduga terlibat dalam pembaitan di UIN
Jakarta, Medan, dan juga Makassar. Diberitakan juga Munarman disebut terlibat
kegiatan terorisme dengan berperan dalam membuat jaringan JAD dan ISIS di
Indonesia, divisualkan beliau ketika ditangkap menggunakan baju koko berwarna
putih dan sarung, juga dikenakan penutup mata berwarna hitam dengan tangan
diborgol.
Sebelumnya juga media
ramai memberitakan penangkapan sebanyak 22 terduga teroris jaringan Jamaah
Islamiyah (JI) di Jawa Timur. Mereka ditangkap Tim Densus 88 Antiteror Polri
sejak tanggal 26 Februari sampai 2 Maret 2021 dalam waktu yang berbeda-beda dengan
lokasi yang berbeda-beda pula, seperti di Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto,
Kediri, Malang, dan Bojonegoro. Mereka ditangkap karena diduga telah melakukan
berbagai aktivitas berupa latihan bela diri dan menyusun rencana aksi
terorisme. Visualisasinyapun sama, mereka ketika ditangkap dengan standar
penangkapan teroris yaitu dikenakan penutup mata berwarna hitam dengan tangan
diborgol.
Hal yang disayangkan
terjadi khususnya dengan prilaku media. Stigmatisasi polisi dalam hal ini
Densus 88 ini lantas disampaikan kepada media massa. Tanpa verifikasi, media
massa langsung menuliskan beritanya. Stigmatisasi teroris itu pun makin
menyebar luas ke masyarakat. Setiap kali peristiwa penangkapan terduga teroris di
Indonesia terjadi, maka media secara langsung memberikan nama sebagai aksi terorisme.
Dan seketika itu terminologi terorisme dalam pemberitaan semua media di
Indonesia, hal tersebut seolah sudah menjadi kebijakan yang wajib. Tidak ada
satupun media yang berani untuk berbeda dengan menggunakan pilihan kata yang
lain dalam menyampaikan pemberitaannya.
Diksi “perbuatan
anarkhis” “perbuatan melawan hukum”, “aksi kekerasan” dan kata pilihan lain yang
sepadan/semisal tidak digunakan oleh media. Stigma teroris sudah sangat melekat
pada atribut-atribut tertentu yang berhubungan dengan sebuah agama yaitu Islam.
Dan efeknya, hal tersebut juga menjadikan keluarga dan turunan mereka mempunyai
stigma yang sama di tengah masyarakat dimana mereka tinggal.
Akhirnya konsekuensi
dari stigma tersebut berefek domino. Keluarga yang salah satu anggotanya
menjadi teroris mendapatkan perlakukan tidak semestinya di masyarakat. Sensitivitas
dari persoalan terkait label terorisme pada umat Islam sangat fatal. Stigmatisasi
atas katakanlah peristiwa terorisme itu masih juga dilegalkan oleh kelompok - kelompok
islam tertentu, yaitu yang terafiliasi dengan teroris. Hal tersebut memang
harus dikenakan penindakan serta proses hukum, tetapi proposionalitasnya tetap
harus kita awasi bersama, jangan sampai wacana terorisme yang dikembangkan
media justru mengarah pada stigmatisasi pemberitaan label teroris pada umat
Islam. Maka dari penjelasan pemaparan diatas tersebut timbul pertanyaan
teoritis : Mengapa Hegemoni pemberitaan media massa memiliki kecenderungan
untuk memberikan stigma pada umat Islam dalam pemberitaan terorisme?
Kajian media ini saya bagi dalam empat bagian. Pertama adalah bagian pendahuluan yang menjadi pengantar sekaligus memaparkan permasalahan keseluruhan arah tema dari kajian ini. Kedua, bagian inti atau isi pokok tema persoalan bahasan, pada bagian ini akan saya paparkan penjelasan mengenai pertanyaan bagaimana Hegemoni kekuasaan menjadi sangat berbahaya bagi rakyat kalau penangkapan seseorang seenaknya dan penggeledahan rumah begitu enteng dilakukan tanpa merasa bersalah karena praktik kewajaran dalam relasi dengan hegemoni media terkait stigmatisasi terorisme. Ketiga, bagian tanggapan teori, bagian ini akan saya paparkan teori Hegemoni beserta referensi jurnal internasional. Dan yang Keempat, akan saya paparkan secara singkat, padat, dan jelas kesimpulan argumentatif dari teori yang digunakan dalam membahas gejala permasalahan yang diamati yaitu berkaitan dengan Hegemoni kekuasaan terhadap wacana yang dikembangkan media mengarah pada stigmatisasi terorisme umat Islam dalam pemberitaannya.
II.
PEMBAHASAN
2.1 Relasi
Stigmatisasi Kekuasaan Dan Media Massa
Berawal dari viralnya postingan curahan hati Siti Hairul Dayah
yang tinggal di Yogyakarta. Beliau menulis dalam akun Facebooknya setelah
suaminya ditangkap Tim Densus 88 pada saat hendak berangkat shalat ke masjid
pada hari Jumat, 2 April 2021, bersama anaknya. Rumahnya digeledah. Buku-buku
dan barang diambil polisi. Ironisnya setelah penggeledahan,beberapa
tetangganyapun dengan seenaknya saja mengambili pot-pot bunga mawar di halaman
rumahnya. Tetangga ini mengira setelah Tim Densus 88 mengambili barang-barang
keluarga Siti tersebut, maka mereka juga merasa berhak mengambil barang-barang
lainnya.
Setelah beberapa hari, wacana pemberitaanpun semakin meluas.
Hampir semua berita ditambahi kabar yang lain. Diberitakan bahwa keluarga
tersebut bercadar dan sangat tertutup, padahal dia tidak bercadar. Bahkan memiliki
pergaulan luas. Teman-temannya beragam. Dan menurut keterangannya sehari
setelah suaminya ditangkap banyak teman-teman ‘bloggernya’ datang berkunjung.
Stigmatisasi teroris. Itulah yang telah diberikan oleh Tim
Densus 88 kepada keluarganya, yang notabene belum tentu benar seperti itu
keadaan sebenarnya. Dan akhirnya berita yang tersebarpun menjadi bias. Stigmatisasi
polisi dalam hal ini Tim Densus 88 lantas disampaikan kepada media massa. Tanpa
verifikasi, media massa
langsung menuliskan beritanya. Stigmatisasi teroris itu pun
makin menyebar luas. Hingga berdampak dan membuat tetangga Siti Hairul berbuat
sesukanya. Itulah bahaya stigmatisasi yang dibuat penguasa yang begitu mudahnya
melabeli rakyat yang notabene adalah umat Islam.
Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat
dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Isi
media tidak hadir begitu saja melainkan melalui mekanisme tarik menarik
kepentingan internal dan eksternal yang kuat. Apa yang tersaji di media
bukanlah realita yang sesungguhnya melainkan formulasi kerja redaksional yang
menghadirkan kembali realitas dalam wajah yang lain.Media melalui formulasi
tersebut menghadirkan realitas baru yang telah mengalami penambahan,
pengurangan, perbaikan, penghapusan atau bahkan distorsi dari realitas
sesungguhnya.
Alih-alih menghadirkan realitas obyektif, isi media justru sarat
dengan berbagai kepentingan yang melingkupinya.
Pada dasarnya teks media massa bukan realitas yang bebas nilai.
Pada titik kesadaran pokok manusia, teks selalu memuat kepentingan. Teks pada
prinsipnya telah diambil sebagai realitas yang memihak, dimanfaatkan untuk
memenangkan pertarungan idea, kepentingan atau ideologi kelas tertentu. Media
bukanlah mekanisme sederhana yang sekedar menyampaikan informasi namun
sekaligus sebagai organisasi yang memegang peran penting dalam masyarakat. Teks
media sendiri sudah bersifat ideologis, dan berpotensi untuk menyalurkan
ideologi dominan sekaligus mengekspresikan berbagai potensi perbedaan yang ada.
Media menjadi bagian dari industri budaya yang menciptakan
simbol dan citra yang dapat menekan kelompok marginal (Littlejohn, S. W. 2008:
305). Pembahasan yang harus disadari bukan hanya terletak pada kenyataan bahwa
teks media selalu bersifat ideologis. Pembahasan tentang kemampuan untuk
membedakan antara kuasa teks itu sendiri dengan pengaruh kuasa struktur makro
yang secara sengaja atau tidak sengaja merekonstruksi, merepresentasikan dan
memaknai teks tersebut juga menjadi topik menarik.
Gans dan Gitlin mengkategorikan beberapa perspektif teoritis
yang digunakan untuk melihat isi media. Pertama adalah isi media merefleksikan
realitas tanpa distorsi atau hanya ada sedikit distorsi dari realitas. Kedua
isi media dipengaruhi oleh sosialisasi dan sikap dari pekerja media. Ketiga,
isi media dipengaruhi rutinitas kerjanya, keempat isi dipengaruhi kekuatan
institusi lain di luar media, dan kelima isi media dipengaruhi oleh posisi
ideologi dan mempertahankan status quo (Shoemaker dan Reese, 1996:6-7).
Meskipun konsumen dan produsen teks media mempunyai opsi
bagaimana teks harus disimbolisasikan dan dimaknai namun tetap saja ada bingkai
yang dipengaruhi oleh faktor yang berada di luar jangkauan kendali sadar
konsumen atau produsen teks media.
Stigma, diskriminasi dan hak asasi manusia memiliki hubungan
yang dekat. Stigma digambarkan sebagai proses devaluasi dinamis yang secara
signifikan mendiskreditkan seseorang di mata orang lain.
Relasi antara media dan kekuasaan dapat digambarkan sebagai
sebuah simbiosis mutualis yang saling membutuhkan. Wacana mengenai pelaku
teroris telah membentuk dan dibentuk oleh Media. Maksudnya adalah media telah
membentuk sekaligus mendefinisikan, peristiwa-peristiwa sosial jenis apa saja
yang layak disebut sebagai tindakan terorisme. Di sisi lain media sendiri pun
telah dibentuk oleh peristiwa-peristiwa terorisme sebagai penerbitan pers yang
merepresentasikan tipe-tipe terorisme dalam pemberitaan mereka. Mekanisme ini
menunjukkan pertalian antara kepentingan dari media akan hadirnya peristiwa
yang memiliki nilai berita dan kepentingan tidak langsung dari para teroris
untuk mendapatkan publikasi.
Stigma adalah atribut yang mengganggu identitas individu.
Goffman menbedakan sigma menjadi tiga jenis yaitu :
1. Abominations of the body (ketimpangan fisik)
Jenis sigma ini diberikan kepada orang-orang yang cacat tubuhnya
atau memiliki ciri khusus secara fisik yang berlainan dengan orang lain. Pada
umumnya orang-orang yang memiliki perbedaan kondisi fisik dengan orang lain
kemudian diberikan julukan khusus seperti si pincang, buntung, hitam, tuli dan
bisu. Stiamatisasi ini juga memberikan julukan pada ciri-ciri fisik khusus yang
memiliki seseorang dan memiliki konotasi terhadap suatu tindakan yang dianggap
menyimpang dalam masyarakat.
2. Blemishes of individual character
Stigmatisasi ini merujuk pada orang-orang yang mempunyai
karakter individual tercela. Misalnya : homoseksualis, lesbian, pelaku bunuh
diri, ketagihan dan pecandu narkoba. Ketimpangan karakter seperti gangguan
mental, gila, dan keterbelakangan juga menjadi bagian dari stigma jenis ini.
Bentuk lain yang dikategorikan sebagai karakter individual tercela biasanya
dikaitkan antara ciri baik dan buruk dalam penilaian mayoritas.
3. Tribal Stigmas
Jenis stigma ini berkaitan dengan kesukuan (Tribal) termasuk di
dalamnya ras, agama, bangsa, wilayah, agama dan politik. Stigma ini bisa muncul
dalam bentuk keturunan.
2.2 Hegemoni
Kekuasaan Dan Media Massa
Hegemoni kekuasaan akan menjadi berbahaya bagi rakyat jika
mereka mengangap rakyat adalah musuh. Menurut Hill dan Fenner, kuasa hegemoni
bisa diterapkan melalui proses produksi dan konsumsi wacana. Di ranah opini
publik, penamaan dan penjulukan terhadap orang atau kelompok tertentu bisa dianggap
’praktik yang wajar dari hegemoni’.
Dalam kasus penangkapan seseorang seenaknya dan penggeledahan
rumah yang begitu enteng dilakukan Tim Densus 88 tanpa merasa bersalah karena
praktik kewajaran dalam kuasa hegemoni itu, maka inilah bahaya dari stigmatisasi.
Wartawan dan media massa ternyata juga ikut-ikutan dalam kesombongan kuasa
hegemoni itu. Tugas media massa seharusnya memverifikasi informasi dan menyajikan
secara cover both side dari fenomena tersebut.
Tugas media massa juga segharusnya memberikan edukasi atau
pemahaman pada rakyat, bahwa terorisme adalah aksi atau ancaman untuk melakukan
kekerasan dengan tujuan menimbulkan kecemasan dan rasa takut. (Stohl, 1988).
Tetapi sepertinya para wartawan tidak perlu memahami apa itu
terorisme, yang penting dapat berita, dimuat duluan, kalaupun ada kesalahan
nanti bisa dikoreksi belakangan. Keberadaan wartawan dalam konteks pemberitaan
yang mereka muat di media dan tak memverifikasi seseorang yang dituduh teroris
itu otomatis sudah memberi ancaman kekerasan dan kecemasan bagi masyarakat, dan
hal tersebut sama saja telah menjadi bagian dari kaki tangan penguasa. Inilah bahaya
stigmatisasi.
Dan kalau situasi tersebut dibiarkan terus menerus, maka akan menjadikan
polisi (Densus 88 Polri) merasa superior. Menjadi lembaga superbody yang bisa
mengatur dan berbuat semaunya. Hal ini terbukti dengan keluarnya Surat Telegram
Kapolri yang meminta Kapolda melarang media massa memuat foto dan berita
kekerasan yang dilakukan aparat polisi (Densus 88), beruntung masih ada
wartawan-wartawan yang merespons keras
Surat Telegram Kapolri itu dari PWI, AJI, dan lainnya, sehingga surat telegram
tersebut dibatalkan (Surat itu hanya berumur satu hari).
2.3 Analisis
Konten Media Dan Social Setting
Menurut Teun Adrianus Van Dijk (pakar linguistik teks dari
Universitas Pompeu Fabra University, Barcelona) menggarisbawahi pentingnya ’siapa yang bicara’
sebagai bagian dari konteks untuk memahami teks. Menurutnya, dua konteks paling
penting yang paling memengaruhi produksi berita adalah participant dan social
setting pada saat terjadinya peristiwa.
Liputan berita terjadi karena pilihan keliru atas narasumber.
Kesalahan terjadi karena narasumber bukan pelaku, korban, saksi mata, yang
berwenang (punya otoritas), atau yang berkemampuan (memiliki kapasitas tentang
isu terkait). Dalam kasus terorisme, Kapolri atau Humas Mabes Polisi adalah
narasumber kompeten. Tapi informasi ini harus dikonfirmasikan ke partisipan
lainnya agar menjadi berita seimbang dan objektif. Tidak trial by the press.
Menghindari bias berita atau framing media yang memberi label dan stigma.
Farid Gaban (seorang wartawan senior) mencontohkan, seseorang
diberitakan teroris harus ada motif politik. Tanpa tujuan politik, kekerasan
atau ancaman, tindak kekerasan itu hanya bersifat pidana (crime), Jadi kalau
wartawan menulis berita seorang pelaku sebagai teroris jelaskan juga unsur
menimbulkan ketakutan, kecemasan, dan motif politiknya. Ini tuntutan fairness
dan keakuratan berita. Tanpa ada keterangan tersebut, maka wartawan sudah pre judice. Berprasangka.
Sebuah teks peristiwa itu tidaklah lahir apa adanya. Ada social
setting yang memengaruhi dari munculnya teks peristiwa tersebut. Bisa
dipengaruhi oleh seseorang atau kehidupan pribadi dan kondisi sosial di lingkungan
pelaku peristiwa itu hidup. Seseorang menjadi radikal bisa jadi dibuat oleh
seseorang atau muncul dari kehidupan pribadi dan kondisi sosialnya.
Jadi wartawan harus memahami social setting untuk mendalami
sebuah peristiwa yang terjadi dipengaruhi oleh siapa dan apa saja. Wartawan
harus bisa cerdas,punya nalar kritis dan skeptis terhadap pernyataan seseorang.
Wacana yang dibuat produsen teks bisa berbeda makna bagi penerima teks. Tidak
peduli seberapa eksplisit kita berpikir bahwa kita telah mentekstualisasikan
apa yang akan kita katakan, akan ada kemungkinan bakal ditafsirkan sebaliknya
oleh penerima teks. Elemen yang paling krusial dalam melabel teroris adalah
identitas agama (dalam hal ini agama Islam). Terorisme adalah kata tunggal
dalam politik Amerika yang paling meaningless
dan paling kerap dimanipulasi. Istilah itu tak ada hubungannya dengan aksi
kekerasan, namun sangat berkaitan dengan identitas agama sang pelaku.
Belajar dari propaganda Bush: War Against Terrorism dan Weapon of Mass Distruction yang ternyata “ZONK”. Sudah semestinya kepolisian Republik
Indonesia mengkaji ulang keberadaan Tim Densus 88 Antiteror dan minta agar anggaran
puluhan triliun untuk kegiatan menggeledah rumah rakyat atau menembak mati
orang yang dicurigai itu diselamatkan dan ditujukan untuk kepentingan
kemakmuran rakyat Indonesia.
III.
PARADIGMA TEORI HEGEMONI
ANTONIO GRAMSCI
Antonio Gramsci adalah seorang intelektual besar di kalangan
kaum kiri, yang disebut sebagai pemikir terbesar setelah Karl Marx.
Pemikiran-pemikiran Gramsci tertuang dalam banyak artikel yang dimuat di media
massa.
Dari seluruh karya dan tulisannya, hegemoni dinilai sebagai ide
sentral dan orisinal yang dikembangkan Gramsci. Teori Hegemoni dipandang telah
membawa perubahan besar dan menimbulkan perdebatan pemikiran atas teori-teori
perubahan sosial, terutama bagi yang menghendaki perubahan radikal dan
revolusioner.
Hegemoni adalah sebuah sebuah upaya pemahaman akan suatu
kelompok atau masyarakat dengan tujuan untuk merubahnya. Hegemoni menunjuk pada
kuatnya pengaruh kepemimpinan dalam bentuk moral maupun intelektual, yang
membentuk sikap kelompok yang dipimpin. Hal ini terjadi dalam citra konsensual
yang diciptakan melalui pengaruh terselubung lewat pengetahuan yang disebarkan
melalui perangkat-perangkat kekuasaan ataupun dengan pemaksaan.
Teori Hegemoni sesungguhnya adalah kritik terhadap konsep pemikiran
yang mereduksi dan menganggap esensi suatu entitas tertentu sebagai
satu-satunya kebenaran mutlak, utamanya reduksionisme dan esensialisme yang
melekat pada pemikiran-pemikiran penganut Marxisme dan Non Marxisme.
Titik
awal konsep Gramsci tentang hegemoni adalah bahwa suatu kelas dan anggotanya
menjalankan kekuasaan terhadap kelas-kelas di bawahnya dengan cara kekerasan
dan persuasi. Hegemoni bukan hubungan dominasi dengan menggunakan kekuasaan,
tetapi hubungan persetujuan dengan mengunakan kepemimpinan politik dan
ideologis. Dengan demikian, berbeda dengan makna aslinya dalam bahasa Yunani
yang berarti penguasaan satu bangsa atas bangsa lainnya, hegemoni dalam
pengertian Gramsci adalah sebuah organisasi konsensus dimana ketertundukan
diperoleh melalui penguasaan ideologi dari kelas yang menghegemoni. Konsep
Gramsci tentang negara integral menunjukkan bahwa kekuasaan tidak hanya
terpusat pada negara. Kekuasaan dipahami sebagai suatu hubungan, sehingga hubungan
sosial masyarakat sipil juga merupakan hubungan kekuasaan. Konsep Gramsci
tentang kekuasaan ini berbeda dengan dengan konsep marxisme klasik, termasuk
Lenin, yang melihat kekuasaan terpusat pada negara dan berada di bawah control
penuh kelas pemiliki kapital
Dengan kata lain, hegemoni adalah sebuah mata rantai strategi
memperoleh kemenangan yang lebih banyak di dapat melalui mekanisme konsensus
daripada melalui penindasan dan pemaksaan terhadap kelompok lainnya.
Polisi dalam hal ini Densus 88 ini sebagai entitas personifikasi
kekuasaaan, yang lantas berelasi dengan media massa dalam penyampaian informasi
dan tanpa verifikasi, media massa langsung menuliskan beritanya. Setiap kali
peristiwa penangkapan terduga teroris di Indonesia terjadi, maka media secara
langsung memberikan nama sebagai aksi terorisme. Dan seketika itu Hegemoni
kekuasaan dan media saling berelasi memunculkan stigmatisasi terorisme pada
umat Islam.
I. PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Pada kesimpulan ini ada dua hal yang ingin saya tekankan :
Pertama, yaitu bahwa argumentasi utama Hegemoni adalah citra
konsensual yang diciptakan melalui pengaruh terselubung lewat pengetahuan yang
disebarkan melalui perangkat-perangkat kekuasaan ataupun dengan pemaksaan yang
dilalukan Tim Densus 88 melalui pimpinannya membuat relasi Hegemoni dengan
media sehingga terjadi stigmatisasi teroris pada umat Islam yang menyebar luas
ke masyarakat.
Kedua, Stigmatisasi teroris, Itulah yang telah diberikan oleh
Densus 88 kepada keluarga umat Islam yang menjadi terduga teroris. Padahal
belum tentu benar seperti itu keadaan sebenarnya, tapi karena relasi hegemoni
media sehingga menyebabkan berita yang tersebar menjadi bias, bahkan hoax. Dari
kasus ini bisa jadi Produsen hoax
terbesar itu justru adalah “Penguasa”.
DAFTAR PUSTAKA
-
Littlejohn, S. W. 2008. Theories of Human Communication 9th Edition.
Belmont CA:Wadsworth N/A.
-
Bocock,
Robert, 2007. Pengantar Komprehensif
untuk Memahami Hegemoni.
Yogyakarta, Jalasutra.
-
Patria,
Nezar & Arief, Andi, 2015. Antonio
Gramsci, Negara dan Hegemoni.
Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
-
Waluyo,
Sapto. 2009. Kontra Terorisme, Dilema
Indonesia di Masa Transisi. Jakarta: Media Center.
-
https://megapolitan.kompas.com/read/2021/04/28/03200081/kronologi-30-menit-penangkapan-munarman-oleh-densus-88-antiteror-di?page=all. (Diakses pada tanggal : 30 April 2021)
-
https://nasional.kompas.com/read/2021/03/18/14570571/22-terduga-teroris-yang-diamankan-densus-88-di-jawa-timur-tiba-di-jakarta.
(Diakses pada tanggal : 30 April 2021)
0 komentar:
Posting Komentar